Rabu, Desember 12, 2012

Kisah Kaum 'Ad yang Berperadaban Maju pada saat itu

Nabi Hud diutus Allah untuk menjadi rasul dikalangan kaum ‘Ad yang terletak di sebuah wilayah jazirah Arab, antara Oman dan Hadhramaut. Negerinya makmur dan maju. Peradabannya tinggi. Banyak gedung-gedung menjulang tinggi. Harta benda melimpah ruah. Binatang ternak maupun hasil buminya memberikan kesejahteraan kepada kaum ‘Ad.  

Tentang kehebatan mereka, Allah swt., memberikan faktanya kepada kita semua dalam surat al-Fajr ayat 6-8,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ * إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ * الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلَهَا فيِ الْبِلاَدِ
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (QS. Al-Fajr : 6-8)



Menurut Quraish Shihab, penggunaan kata tara (melihat) pada ayat di atas, itu merupakan perintah untuk meyakini pemberitaan ini bagaikan melihatnya dengan mata kepala. Ini disebabkan karena yang memberitakannya adalah Allah swt., dan yang menyampaikannya adalah Rasululah saw., yang sangat terpercaya. Sehingga dengan pemberitaan Allah dan yang disampaikan oleh baginda Rasul, maka tak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak meyakininya.

Siapakah kaum ‘Ad itu? Kaum ‘Ad adalah sekelompok masyarakat Arab yang terdiri dari sepuluh atau tiga belas suku, kesemuanya telah punah. Moyang mereka yang bernama ‘Ad merupakan generasi kedua dari putra Nabi Nuh yang bernama Sam. Mayoritas sejarawan menyatakan bahwa ‘Ad adalah putra Iram, putra Sam, putra Nuh. Suku ‘Ad bermukim di satu daerah yang bernama al-Syihr atau al-Ahqaf di Yaman yang terletak antara Aden dan Hadhramaut. Kuburan Nabi Hud yang merupakan salah seorang keturunan kaum ‘Ad terdapat di sana dan hingga kini masih merupakan tempat yang diziarahi, khususnya pada bulan Sya’ban.

Sedangkan Iram adalah nama kakek dari suku ‘Ad yang pertama, lalu menjadi nama dari suku yang memiliki garis keturunan yang bersumber dari sang kakek itu. Kata ini dipahami juga dalam arti perkampungan mereka.

Mereka termasuk bangsa yang punya bangunan tinggi. Dengan bangunan itu, mereka disebut juga sebagai kaum yang berperadaban maju. Belum ada kaum semaju itu sebelumnya. Kira-kira, kita bayangkan saja sekarang dengan kota-kota besar di dunia—seperti Amerika, Inggris, Hongkong dan seterusnya, termasuk Jakarta—yang bangunannya tinggi-tinggi atau pencakar langit. Sehingga dengan kemajuan arsitektural itu, mereka pun jadi sombong dengan berkata bahwa mereka adalah bangsa yang hebat dan kuat. Tidak ada yang lebih hebat dari mereka.

Tentang kesombongan mereka itu, Allah swt., mengabadikan dalam al-Qur’an surat Fushshilat ayat 15,

فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يَجْحَدُونَ

Adapun kaum ‘Ad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya dari mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami. (QS. Fushshilat : 15)

Karena sombong itulah yang mengantarkan kaum ‘Ad untuk terperosok dalam liang kehancurannya sendiri. Mereka lupa bahwa di atas langit masih ada langit lagi. Di atas kehebatan mereka dalam hasil olah pikir dan fisik itu, masih ada Allah yang Maha Tinggi. Allah jua yang beri mereka akal pikiran dan tenaga untuk membuat bangunan setinggi itu, tapi mereka lupa pada Allah. Mereka bagai kacang yang lupa kepada kulitnya. Tidak ada syukurnya, begitu.

Karena mereka ini sudah keterlaluan, maka Allah mengutus seorang nabi guna memperingatkan mereka. Nabi Hud diutus untuk mereka agar kembali ke jalan yang lurus. Walaupun Hud termasuk keluarga mereka, tapi karena hati yang sudah keruh membuat mereka menolak mentah-mentah. Sama seperti kaum kafirin Mekkah yang mati-matian menolak dakwah Rasulullah, padahal secara genetik masih ada hubungan kekeluargaan. Ternyata memang faktor paling kuat bukan keturunan, akan tetapi keyakinan, atau dalam bahasa kita sekarang: ideologi.
Dalam surat Hud ayat 53, Allah swt., berfirman tentang jawaban kaum ‘Ad itu kepada dakwah Nabi Hud,

قَالُوا يَاهُودُ مَاجِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَمَانَحْنُ بِتَارِكِي ءَالِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَانَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ

Kaum ‘Ad berkata: “Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu.(QS. Hud : 53)

Apapun yang ditunjukkan oleh Nabi Hud, tetap saja mereka tak mau terima. Karena itu, dari mulut mereka keluar kalimat “dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu.” Dalam bahasa kita, kira-kira mereka berucap, “tidak bakalan saya percaya.” Berarti mereka memang sudah menutup hati dan pikiran mereka dari dakwah. Allah swt., berfirman dalam ayat 59 surat Hud,

وَتِلْكَ عَادٌ جَحَدُوا بِئَايَاتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهُ وَاتَّبَعُوا أَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ

Dan itulah (kisah) kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). (QS. Hud : 59)

Olehnya itu, karena mereka sudah sama sekali tidak bisa diberi tahu, dakwah mereka tolak. Akhirnya, Allah pun memberikan musibah kepada mereka. Dalam hal ini, mereka ditimpa siksaan hingga binasa. Allah mengirimkan angin yang dahsyat dan membinasakan. Bayangkan! Kita kalau diterpa angin puting beliung, torpedo atau topan, bisa menghancurkan, apalagi dengan angin yang Allah kirimkan sebagai siksa. Pasti besar sekali angin tersebut.  Allah swt., berfirman tentang itu,

وَفِي عَادٍ إِذْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الرِّيحَ الْعَقِيمَ

Dan juga pada (kisah) ‘Ad ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan. (QS. Adz-Dzariyat: 41)

Cukupkah hanya dengan angin? Ternyata tidak. Masih ada lagi siksaan tambahan. Ada semacam “bonus” siksa bagi kekerasan hati mereka itu. Allah hajar mereka lagi dengan petir yang bersahut-sahutan seperti cemeti yang dilecut-lecutkan ke angkasa. Mari kita bayangkan sekali lagi: ada angin kencang (lebih kencang dari topan dan kawan-kawannya), ditambah dengan petir yang menggelegar seperti cemeti (peniti) yang dilecutkan ke angkasa. Sudah dihajar dengan angin, mereka pusing dan stress. Ditambah lagi dengan petir yang kencang, pasti itu membuat manusia takut sekali.
Dalam surat al-Fajr ayat 13, Allah berfirman tentang itu,  

فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti ‘adzab. (QS. Al-Fajr : 13)
Begitu juga dalam surat Fushshilat ayat 13, ada redaksi tentang siksaan petir yang menimpa kaum berperadaban itu,

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِّثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ

Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Tsamud. (QS. Fushshilat : 13)

Berapa lamakah siksaan itu datang? Ternyata bukan cuma sebentar, tapi terjadi berhari-hari. Tujuh malam delapan hari kejadiannya. Dingin juga sangat terasa ketika angin berhembus kencang itu. Maka, bagaimanakah kondisi mereka satu kaum itu? Masih tetap tegak berdirikah? Sudah pasti, mereka semua jadi tumbang seperti pohon tua yang karena diterjang angin, ia pun tercerabut akarnya dan tumbang. Tak cuma manusia, bangunan mereka yang banggakan itu juga hancur (bayangkanlah lebih dahsyat dari hancurnya menara kembar WTC di New York pada 2001). Tak ada yang bisa menahan. Tak ada, jagoan dari bangsa jin dan manusia yang mampu menghentikan ‘adzab Allah itu.

Allah swt., menjelaskan bagaimana kaum ‘Ad itu dihancurkan dalam  surat al-Haqqah ayat 6-7,

وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ * سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ

Adapun kaum ‘Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang. yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon korma yang telah kosong (lapuk). (QS. Al-Haqqah : 6-7)

Baiklah. Hingga di sini, apa yang bisa kita petik dari kejadian itu? Yang pertama, kaum ‘Ad disiksa itu karena ulah mereka sendiri. Ya, mereka sendiri yang mengolok-olokkan Hud. Mereka bilang ini dan itu. Mereka tidak percaya kepada kebenaran yang dibawa. Memang, biasanya kalau orang memiliki kelebihan—apakah itu kekayaan seperti bangunan tinggi, harta benda bergerak seperti kendaraan, ataukah ilmu—mereka adakalanya jadi lupa daratan. Kaum ‘Ad ini peradabannya maju, tapi mereka lupa. Kalau kita lihat pada konteks sekarang, marilah melihat bangsa-bangsa besar yang tinggi-tinggi bangunan pencakar langitnya. Mereka sangat percaya dengan hasil olah pikirnya, dan melupakan Allah. Akhirnya, Allah pun menyiksa mereka. Kaum ‘Ad disiksa duluan di dunia. Bagaimana dengan peradaban kontemporer yang masih eksis? Bisa jadi, siksaan Allah tidak menimpa di dunia, akan tetapi di hari akhirat jika memang di dunia tidak disiksa karena ulah dan dosa mereka.

Yang kedua, siksa Allah itu dahsyat. Kita kena sakit saja sudah merasakan tak terperi, apalagi dengan siksa yang besar. Mendengar petir besar menyambar-nyambar dengan “lidah api”-nya saja membuat kita ketakutan, apatah lagi kalau itu benar-benar siksa. Apa yang menimpa kaum ‘Ad itu masih siksaan dunia—masih mendingan. Bagaimana lagi dengan siksaan di akhirat? Di akhirat, ketika seseorang sudah divonis masuk neraka, maka ia akan disiksa dalam keadaan tidak mati dan tidak hidup (la yahya wa la yamut). Jadi, antara keduanya itu. Setelah disiksa, hancur, dikembalikan lagi bentuk fisiknya, kemudian disiksa. Dan begitu seterusnya. Betapa dahsyatnya siksaan itu.

Kisah musibah siksa yang menimpa kaum ‘Ad sepatutnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Jangan kita merasa bahwa sekarang ini kita aman-aman saja. Kita memikirkan diri sendiri, tidak mau peduli kepada yang lain. Atau, karena terkena virus dunia, manusia jadi meninggalkan dakwah untuk mengajar kesenangan dunia. Maka, ada baiknya sejak sekarang—lewat kisah kaum ‘Ad itu—kita kembali untuk menjalankan perintah-perintah Allah untuk diri sendiri dan untuk masyarakat dimana kita hidup.

0 comments:

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template