Diriwayatkan dari Imam Ahmad, “Bahwasanya ketika Ibrahim dilemparkan ke
dalam api maka mulailah semua hewan melata berusaha memadamkannya,
kecuali cicak, karena sesungguhnya cicak itu mengembus-embus api yang
membakar Ibrahim.” (Imam Ahmad)
Cicak yang mengembus agar api
semakin membesar terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Apakah cicak termasuk
hewan terkutuk sehingga ia tetap harus dibunuh hingga akhir zaman?
Bukankah cicak mengurangi populasi nyamuk?
Terdapat banyak dalil yang memerintahkan kita untuk membunuh cicak, di antaranya:
Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau menyatakan, “Dahulu, cicak
yang meniup dan memperbesar api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muttafaq
‘alaih). Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang membunuh cicak dengan
sekali bantingan maka ia mendapat pahala sekian. Siapa saja yang
membunuhnya dengan dua kali bantingan maka ia mendapat pahala sekian
(kurang dari yang pertama), ….” (HR. Muslim). Dalam riwayat Muslim;
dari Sa’ad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
membunuh cicak, dan beliau menyebut (cicak) sebagai hewan fasiq
(pengganggu). Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa membunuh cicak hukumnya sunnah, tanpa pengecualian.
Sikap yang tepat dalam memahami perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah sikap “sami’na wa atha’na” (tunduk dan patuh sepenuhnya)
dengan berusaha mengamalkan sebisanya. Demikianlah yang dicontohkan oleh
para sahabat radhiallahu ‘anhum, padahal mereka adalah manusia yang
jauh lebih bertakwa dan lebih berkasih sayang terhadap binatang,
daripada kita. Di antara bagian dari sikap tunduk dan patuh sepenuhnya
adalah menerima setiap perintah tanpa menanyakan hikmahnya. Dalam
riwayat-riwayat di atas, tidak kita jumpai pertanyaan sahabat tentang
hikmah diperintahkannya membunuh cicak. Mereka juga tidak mempertanyakan
status cicak zaman Ibrahim jika dibandingkan dengan cicak sekarang.
Jika dibandingkan antara mereka dengan kita, siapakah yang lebih
menyayangi binatang?
Penjelasan di atas tidaklah menunjukkan
bahwa perintah membunuh cicak tersebut tidak ada hikmahnya. Semua
perintah dan larangan Allah ada hikmahnya. Hanya saja, ada hikmah yang
zahir, sehingga bisa diketahui banyak orang, dan ada hikmah yang tidak
diketahui banyak orang. Adapun terkait hikmah membunuh cicak, disebutkan
oleh beberapa ulama sebagai berikut:
Imam An-Nawawi
menjelaskan, “Para ulama sepakat bahwa cicak termasuk hewan kecil yang
mengganggu.” (Syarh Shahih Muslim, 14:236) Al-Munawi mengatakan,
“Allah memerintahkan untuk membunuh cicak karena cicak memiliki sifat
yang jelek, sementara dulu, dia meniup api Ibrahim sehingga (api itu)
menjadi besar.” (Faidhul Qadir, 6:193) Hikmah yang disebutkan di
atas, hanya sebatas untuk semakin memotivasi kita dalam beramal, bukan
sebagai dasar beramal, karena dasar kita beramal adalah perintah yang
ada pada dalil dan bukan hikmah perintah tersebut. Baik kita tahu
hikmahnya maupun tidak.
Segala sesuatu memiliki manfaat dan
madarat. Kita–yang pandangannya terbatas– akan menganggap bahwa cicak
memiliki beberapa manfaat yang lebih besar daripada madaratnya. Namun
bagi Allah–Dzat yang pandangan-Nya sempurna–hal tersebut menjadi lain.
Allah menganggap madarat cicak lebih besar dibandingkan manfaatnya.
Karena itu, Allah memerintahkan untuk membunuhnya. Siapa yang bisa
dijadikan acuan: pandangan manusia yang serba kurang dan terbatas
ataukah pandangan Allah yang sempurna?
Manakah yang lebih
penting, antara mengamalkan perintah syariat atau melestarikan hewan
namun tidak sesuai dengan perintah syariat? Orang yang kenal agama akan
mengatakan, “Mengamalkan perintah syariat itu lebih penting. Jangankan,
hanya sebatas cicak, bila perlu, harta, tenaga, dan jiwa kita korbankan
demi melaksanakan perintah jihad, meskipun itu adalah jihad yang
sunnah.”
Semoga perenungan ini bisa menjadi acuan bagi kita untuk tunduk dan patuh pada aturan syariat Allah.
0 comments:
Posting Komentar