Selasa, Agustus 14, 2012

Suriah versus Rohingya

Di sini, nun jauh dari tanah air, kami memantau perkembangan berita muslim Rohingya. Alhamdulillah, berangsur ada kemajuan. Perhatian dunia mulai dapat menekan pemerintah junta militer untuk berkompromi terhadap nasib saudara kita, etnis Muslim Rohingnya. Hati saya terkesiap sesak setiap disebut nama Rohingnya. Sungguh, kalaulah bukan karena persiapan Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) lebih matang untuk misi Suriah, saya pun ingin membaur dengan teman-teman ACT dan lainnya untuk turut menyisingkan lengan membantu muslimin Rohingya. Apalagi sebelum ditunjuk oleh dr. Mashur untuk memimpin tim Suriah ini, saya mendapat email dari kawan saya sesama relawan Asia Caravan to Gaza dari Malaysia, mengajak berangkat ke Myanmar dengan kapal ala Freedom Flotilla.

Namun, Suriah dan Rohingnya bukan untuk dibeda-bedakan. Kalaulah saya hari ini datang jauh-jauh ke Yaydalagi, perbatasan Turki-Suriah ini, sama sekali bukan karena anggapan Suriah lebih penting, sehingga abai terhadap muslimin Rohingnya yang secara jarak lebih dekat. Musibah yang menimpa muslimin Rohingya terjadi di tengah-tengah kampanye kemanusiaan untuk rakyat Suriah yang diusung HASI sejak April lalu. Tepatnya setelah delegasi GMJ (Global March to Jerussalem) HASI bertemu dengan LSM Suriah dalam rangkaian acara tersebut.

Dana kemanusiaan dari umat Islam Indonesia untuk rakyat Suriah sudah terkumpul, kontak dan janji kerjasama dengan Jam’iyah Huququl Insan Suriah sudah disepakati, karenanya misi Suriah harus tetap berjalan. Sembari yakin, kawan-kawan LSM lain akan ambil bagian dalam krisis Rohingnya. Singkatnya, kami terbang ke Turki sambil “menitip” harapan soal Rohingnya sudah ada yang menangani. Bukankah seperti ini nikmatnya perbedaan LSM, dapat saling berbagi tugas sehingga masing-masing dapat fokus agar pekerjaan jadi efisien?


Rohingya tetap ada di hati kami, meski kami berkutat bersama penderitaan rakyat Suriah di perbatasan Turki ini. Bahkan, tak hanya di hati kami, orang Indonesia. Banyak pengungsi Suriah—di tengah belitan penderitaan—sempat menanyakan kabar Rohingnya kepada kami. Seorang pemuda Suriah bernama Yahya berkata kepada saya, “Ya Akhi, Indonesia tempat kalian itu dekat dengan Rohingya. Selain membantu kami, kalian wajib membantu mereka.” “Mengapa tidak ada yang melawan kebengisan kaum Budha dan junta militer di sana?” lanjutnya dengan ekspresi kemarahan yang tertahan. Dada saya bergemuruh haru mendengarnya. Saya baru betul-betul merasakan “ummat yang satu,” ya di sini ini.

Namun, gemuruh haru di dada saya seketika musnah berganti kekecewaan. Tepatnya sehari lalu ketika membaca sebuah media online yang mengutip pernyataan Ketua DPR-RI Marzuki Alie tentang krisis Suriah. Politisi Partai Demokrat itu mengatakan bahwa persoalan Suriah itu tidak lebih penting (dibanding Rohingya) karena sifatnya lebih kepada persoalan politik. “Presidennya dianggap gagal dan itu adalah persoalan internal. Sementara Rohingya itu bukan persoalan politik, tapi persoalan komunitas Islam Myanmar yang kabarnya dibantai oleh mayoritas. Maka ini menyangkut HAM.”

Kita tentu hafal, banyak politisi Partai Demokrat—partai penguasa yang dirundung kasus korupsi tiada henti—yang membuat pernyataan blunder. Mulai dari Ruhut Sitompoel hingga Marzuki Alie. Membodoh-bodohkan rakyat yang menggugat WC supermewah DPR, menganggap PRT TKW membawa citra buruk bangsa, menilai koruptor sebagai orang-orang pintar, dan pernyataan nyleneh lainnya.

Namun saya tidak menyangka, komentar ngawur itu juga diucapkan dalam mengomentari isu-isu internasional seperti krisis Suriah dan Rohingya. Bila ditulis dalam sebuah rangkaian kata berurutan, pernyataan tersebut mengandung kelemahan yang dapat diurai kata per kata. Ya, diurai kata per kata layaknya Al-Maraghi menafsirkan Al-Qur’an.

    “Suriah tidak lebih penting daripada Rohingya.” Ucapan seperti ini jelas-jelas memecah belah persaudaraan umat Islam. Membeda-bedakan perlakuan terhadap kedua kelompok saudara sesama Muslim yang sedang tertimpa musibah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Saya sebenarnya sangat benci membeda-bedakan Suriah dan Rohingya. Namun untuk menjelaskan betapa ngawurnya Marzuki Alie, silakan bandingkan sendiri komparasi berikut: Rakyat Suriah dibantai Basar Asad dengan dukungan internasional (Iran, Rusia dan China); sementara, muslimin Rohingya dibantai oleh junta militer Burma sendirian, tanpa ada sokongan dari luar negeri. Bukan berarti yang berlaku kebalikannya, Suriah lebih penting daripada Rohingya. Sama sekali tidak. Ini persoalan nyawa, harta dan kehormatan kaum Muslimin. Tak boleh ada pembeda-bedaan.

    “Persoalan politik internal, di mana Presidennya dianggap gagal. Sedangkan Rohignya itu minoritas dibantai mayoritas.” Mungkin sehari-hari hidup dalam kubangan politik dan kekuasaan, sehingga view yang dipakai dalam kasus Suriah ini pun sebatas persoalan politik. Memang, kasus Suriah dipantik oleh gejolak politik yang sering disebut sebagai Arab Spring. Namun, ketika sebuah rezim yang ingin mempertahankan kekuasaannya kemudian membantai 22.000 rakyatnya sendiri, mengakibatkan 1.000.000 jiwa terlunta-lunta mengungsi dan 65.000 lainnya hilang ditambah 3.000.000 jiwa terancam kelaparan… apakah itu dapat dibiarkan begitu saja hanya karena satu alasan, politik? Apalagi, konflik Suriah bukan lagi soal kekuasaan, melainkan sudah merembet ke soal agama, di mana banyak rakyat dipaksa berucap Tiada Tuhan Selain Basar Asad! Apakah hanya karena statusnya mayoritas kemudian Muslimin Suriah tidak wajib dibela meski jumlah korban mencapai angka di atas? Oh, malang nian nasib mayoritas; boleh dibunuh, diperkosa, dizalimi dan diperlakukan semaunya.

    ”Saya sebagai presiden parlemen negara-negara OKI menyampaikan kepada seluruh anggota PIC untuk mengambil peran sesuai amanat resolusi PIC 11 pada saat dilaksanakan di Palembang, harus membela kepentingan umat”. Maknanya, yang disebut oleh umat itu hanya muslimin Rohingya. Adapun Muslimin Suriah itu bukan bagian dari umat—padahal menyembah Rabb yang sama, mengikuti nabi yang sama dan sujud menghadap arah kiblat yang sama. Sungguh, sebuah pengkhianatan terhadap OKI, di mana Sang Presiden Parlemen sampai mengkotak-kotakkan umat seperti itu. Sang Presiden Parlemen, yang seolah memerankan peran sebagai khalifah yang menghasung umat untuk peduli dalam satu perkara dan cuek terhadap masalah lain.

Saya belum habis pikir dengan sosok Marzuki Alie, meski Tempo memuat 10 pernyataan kontroversialnya—sedangkan okezone memuat 7; silakan di-google untuk mengetahui rincinya. Namun tiba-tiba saya teringat akan sebuah acara yang digelar kelompok Syiah hari ini, Senin 13 Agustus 2012. Acara bertajuk Yaumul Quds itu diselenggarakan oleh VoP (Voice of Palestina), LSM Syiah yang (bersama-sama elemen lain) aktif dalam kampanye pro-Palestina. Menghadirkan pembicara Dr. Umar Shahab, ketua ABI (Ahlul Bait Indonesia), Dr. Mahmoud Farazandeh (Dubes Iran untuk Indonesia), Ir. Mujtahid Hasim sendiri selaku direktur VoP, dan “Yang Mulia” Ketua DPR-RI, Marzukie Ali. Ooo… pantes. Akhirnya saya bisa menyimpulkan mengapa Marzuki Alie enggan bersimpati terhadap penderitaan rakyat Suriah. Sayang, nama besar OKI dipakai untuk tameng sebuah kelompok.
Yayladagi, perbatasan Turki-Suriah
24 Ramadhan 1433 H. / 13 Agustus 2012 M.
Angga Dimas Pershada
Ketua Relawan HASI

Sumber.

0 comments:

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template