Rabu, Agustus 29, 2012

Beban Sejarah Syiah Sampang

Hari mulai beranjak siang, sekelompok santri, dengan menumpang mobil, bermaksud ke Bangil, Jawa Timur. Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba mobil itu dihadang oleh sekelompok orang tak dikenal. Sempat terjadi cekcok, mobil yang ditumpangi santri akhirnya memutuskan kembali ke rumah di Dusun Nangkernang, Desa Karangayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang. (Detik.com, 26/08/2012) dan (Berita Jatim.com 26/08/2012).

Kejadian di atas memulai seluruh rangkaian kekerasan pada komunitas Syiah di Sampang, pada Minggu, 26 Agustus 2012. Hingga artikel ini ditulis, suasana di Sampang dikabarkan masih mencekam. Wartawan kesulitan untuk mendekati lokasi kejadian, karena beredar kabar bahwa sepanjang jalan telah ditanami bom. Korban tewas diperkirakan 2 orang, dengan korban terakhir bernama Thahir, 5 orang luka berat, dan satu orang luka ringan, yaitu Kapolsek Omben. Sedangkan rumah yang dibakar mencapai 9 buah. (BeritaJatim.com, 26/08/2012).

Peristiwa kerusuhan Sampang tak ayal membuat kalangan NU bak kebakaran jenggot. Mengingat bahwa wilayah Jawa Timur dan Madura merupakan basis massa ormas NU, yang selama terkesan tak beringas dan toleran. Terlebih ini untuk kedua kalinya, setelah pada medio 2011, kerusuhan dengan isu yang sama pernah meletus di Sampang.

Tak kurang dari Ketua GP Ansor, Nusron Wahid, dan Ketua PBNU, Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari Detik.com mengutuk keras tindakan kekerasan mengatasnamakan agama tersebut. Baik, Nusron dan KH. Said Aqil menilai, konflik Sunni-Syiah ini barang lama, dan menuding adanya pihak ketiga yang sengaja mengadu domba. Bahkan KH Said Aqil menyatakan, konflik ini sejatinya bukan antara Sunni-Syiah, melainkan konflik keluarga atau personal.

Nusron benar bahwa konflik Sunni-Syiah ini bukanlah barang baru di dunia Islam. Konflik ini telah ada jauh sebelum kerusuhan Sampang. Bermula dari konflik politik perihal kepemimpinan pasca Nabi Saww, antara kelompok Ali dengan Muawiyyah, yang keduanya merupakan Sahabat Nabi Saww, kemudian merembet hingga persoalan akidah. Bahkan rembetan itu mencapai wilayah politik global.

Sebagai contoh, ialah apa yang terjadi di Iran dan Irak saat ini. Dua madzhab besar, Sunni dan Syiah saling berhadapan di satu sisi. Sementara di sisi lainnya, negara-negara di Arab dan Iran saling berhadapan. Masing-masing menonjolkan kesentimenan Sunni-Syiah. Tangan asing-pun dicurigai bermain dalam menciptakan konflik Sunni-Syiah agar terus berkesinambungan. Pihak asing meras perlu untuk menjaga agar konflik itu tetap ada. Sebab hanya dengan demkianlah, pihak asing bisa dengan sesukanya menginjak-nginjak wilayah Arab dan sekitarnya, yang terkenal kaya dengan sumber bumi, “emas hitam”.

Dunia Islam bukannya tak sadar akan adanya konspirasi tingkat dewa di balik konflik sektarian itu. Indonesia, misalnya, banyak tokoh-tokoh agama yang telah mencoba mendamaikan ketegangan yang berada di tengah-tengah Sunni-Syiah. Quraisy Syihab, pakar tafsir Indonesia, tercatat pernah mengarang buku, “Sunni-Syiah Bergandengan Tangan.” Kemudian, Alm. Abdurrahman Wahid seringkali mengatakan bahwa NU sejatinya adalah Syiah secara kultural. Semuanya itu demi meredakan konflik antara Sunni-Syiah, yang ditenggarai adanya kepentingan asing di dalamnya.

Namun apa daya, segelintir umat Islam rupanya tak menyadari petingnya arti “ukhuwaah” dalam Islam. Lebih jauhnya, tak sadar akan adanya pihak ketiga yang sengaja “melemparkan” api di tengah-tengah minyak yang tersebar antara Sunni-Syiah. Mereka yang tak sadar ini, terus dihembusi dengan isu-isu sektarian, dengan harapan tidak terwujudnya “Ummah Wahidah”, umat yang satu.

Dengan kacamata global dan beban sejarah Syiah di masa silam inilah kita harus memandang konflik Sunni-Syiah di Sampang. Sebab, sejatinya “kobaran” koflik Sampang bak letupan kecil di tengah-tengah skenario besar.

Lalu adakah kacamata lain?. Ada!. Ketidaktegasan aparat yang berwenang dalam melindungi warga negaranya juga turut berperan. Demikian juga fatwa MUI yang menyatakan Syiah sebagai kelompok sesat, namun tak memberikan solusi juga turut ambil bagian dalam terciptanya konflik Sunni-Syiah.

Mengutip Dr. Zuli Qadir, MUI, sebagai institusi keagamaan, seharusnya menjadi pengayom atas semua kelompok komunitas yang ada, ketimbang memberikan fatwa sesat yang akan berdampak pada terjadinya kekerasan publik. Sehingga antar sesama warga negara terjadi saling curiga, saling memusuhi, dan saling balas dendam. Bukan hanya dendam kultural, tetapi sekaligus dendam politik. (Esai-Esai Agama Di Ruang Publik, Dr Zuli Qadir).

Akhirnya, jika aparat yang berwenang tetap tidak tegas dalam menangani kasus kekerasan Sampang kali ini, dan MUI, sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa sesat terhadap Syiah hanya duduk manis di atas kursi kekuasaan, maka tampaknya beban sejarah masa silam harus terus menerus ditanggung oleh kelompok Syiah. Tidak hanya di Sampang, melainkan di seluruh Indonesia.

Sumber.

0 comments:

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template