lanjutan dari part 1, 2, 3, & 4
5. Yahudi "bantai" penduduk dunia
Pada 1972, The Club of Rome menerbitkan sebuah buku berjudul "The Limits to Growth". Buku ini memaparkan hasil survei yang
5. Yahudi "bantai" penduduk dunia
Pada 1972, The Club of Rome menerbitkan sebuah buku berjudul "The Limits to Growth". Buku ini memaparkan hasil survei yang
menyebutkan
bahwa sumber daya alam di Bumi semakin menipis akibat pesatnya
pertumbuhan penduduk dunia. Ini lah awal munculnya wabah HIV/AIDS yang
hingga kini menghantui dunia dan belum ada obatnya.
Organisasi apakah klub itu? Selengkapnya, KLIK DI SINI. Korban pertama virus mematikan ini adalah ras kulit hitam di Afrika yang yang oleh Yahudi dianggap sebagai "salah satu kelompok yang tidak layak hidup". Virus itu disebarkan di Benua Hitam melalui vaksinasi cacar pada 1977.
Ketika Orde Baru berkibar, Indonesia mulai mengenal Program Keluarga Berencana (KB), program untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia. Presiden Soeharto berkilah kalau program ini digulirkan demi menjaga agar cadangan keuangan negera tidak kebobolan. Selain itu, menurut The Smilling General, banyaknya anak merupakan salah satu pemicu maraknya kemiskinan di Nusantara. Maka, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 8 Tahun 1970 tentang Pembentukan Badan untuk Mengelola Program KB, program ini dicanangkan sebagai program nasional dengan jargonnya yang terkenal hingga kini; Dua anak saja cukup.
Di masa lalu, para orang tua di Indonesia berpegang pada pepatah "Banyak anak banyak rejeki", sehingga kaum ibu tak segan-segan melahirkan anak hingga selusin. Program KB mematahkan pepatah itu. Tapi, sayangnya, KB bukan program yang murni dari buah fikiran para pejabat di era Orde Baru, karena selain Indonesia, banyak negara di dunia juga menerapkan program ini. Di China, program KB dinamakan jìhuà shengyù zhèngcè. Di negara ini, pemerintahnya bahkan memberlakukan jargon "Satu anak saja cukup".
Di Brasil, program KB bernama Planejamento Familiar. Sementara di India bernama National Population Policy, dan di Rusia dinamakan Kontrolya V Oblasti Planirovaniya Sem'i Naseleniya. Amerika Serikat dan Inggris juga menerapkan program KB, bahkan jauh sebelum Indonesia memberlakukannya, yakni pada 1921-an. Di kedua negara ini, program KB dinamakan Birth Control.
Siapakah penggagas program pengendalian penduduk dunia ini? Dia seorang Yahudi. Namanya Thomas Robert Malthus (1766-1834). Dia seorang pakar demografi Inggris, plus ekonom dan politikus yang dikenal karena pandangannya yang pesimistik. Menurut Malthus, pertumbuhan sumber daya manusia tidak simetris dengan potensi sumber daya alam. Dalam An Essay on the Principle of Population (Sebuah Esai tentang Prinsip mengenai Kependudukan), yang diterbitkan pada 1798, Malthus membuat ramalan yang terkenal bahwa jumlah populasi akan mengalahkan pasokan makanan, yang menyebabkan berkurangnya jumlah makanan per orang. Pada titik inilah kekacauan akan terjadi. Malthus lalu menawarkan solusi berupa preventive checks atau penundaan perkawinan. Inilah cikal bakal program KB. Karenanya, jangan heran, jika dalam program kampanye pun masyarakat disarankan untuk tidak buru-buru menikah alias jangan kawin muda.Dari ide Malthus ini kemudian muncul alat kontrasepsi kondom yang digagas Yahudi lain, Maria Stopes (1880-1950). Kegunaan alat ini jelas; untuk mencegah terjadinya kehamilan agar pertumbuhan jumlah penduduk goyim tidak mudah bertambah. Bahkan pada 2010, Maria Stopes Organization membuat sebuah layanan iklan untuk mengkampanyekan aborsi. Iklan ini memicu perdebatan karena bukan hanya dapat membuat angka seks bebas semakin tinggi, namun juga mengarahkan orang untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Salah satu penentang iklan ini adalah LSM anti aborsi Pro Life.
Dalam Alqur'an suah ke-11 ayat 6, Allah berfirman; "Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya".
Ayat ini membantah klaim Yahudi bahwa banyak anak hanya akan memicu kemiskinan, karena sesungguhnya setiap makhluk yang hadir ke muka Bumi telah dibekali Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan rezeki. Hanya saja seberapa banyak dan seberapa besar, tidaklah sama, dan miskin tidaknya kehidupan seseorang, sangat tergantung seberapa keras ia berjuang dalam menjalani hidupnya. Karenanya, jangan heran jika da'i kondang Aa Gym pernah berkata; "Kenapa kita takut akan rezeki Allah? Gajah saja gak sekolah gemuk-gemuk. Plankton yang hidup di dasar laut saja diberi rezeki. Bagaimana dengan kita sebagai makhluk hidup yang mulia?"
Cara Yahudi mengekang pertumbuhan penduduk goyim juga dilakukan dengan menyuntikkan zat-zat tertentu sejak bayi dan balita yang kita kenal dengan sebutan Program Imunisasi. Dengan menyuntikkan zat-zat tersebut, dalam kurun sekian tahun setelah para bayi dan balita disuntik, mereka tumbuh menjadi remaja/pemuda yang rentan terhadap serangan berbagai penyakit. Bahkan merebaknya autis ditengarai akibat vaksin MMR (measles, mumps rubella) yang digembar-gemborkan ampuh melawan campak, gondongan dan campak Jerman.
Jika merunut pada sejarah vaksin modern (imunisasi), kita akan tahu kalau penyebaran vaksin oleh Flexner Brothers didanai oleh salah seorang dedengkot Freemasonry, Illuminati dan Gerakan Zionis Internasional; keluarga Rockefeller. Keluarga ini pula yang berada di belakang berdirinya World Health Organization (WHO) pada 1948, organisasi di bawah PBB yang menganjurkan digalakkannya program imunisasi di seluruh dunia.
Dr James R. Shannon, mantan direktur Institusi Kesehatan Nasional Amerika, mengatakan; "Satu-satunya vaksin yang aman adalah vaksin yang tidak pernah digunakan". Sementara Dr Richard Moskowitz, ilmuwan dari Harvard University, Amerika Serikat, mengatakan; "Vaksin menipu tubuh supaya tidak lagi menimbulkan reaksi radang, sehingga vaksin mengubah fungsi pencegahan sistem imun."
Yang lebih membuat buku kuduk merinding adalah pernyataan Dr W.B. Clarke, peneliti kanker Inggris. Kata dia; "Kanker pada dasarnya tidak dikenal sebelum kewajiban vaksinasi cacar mulai diperkenalkan. Saya telah menghadapi 200 kasus kanker, dan tak seorang pun dari mereka yang terkena kanker tidak mendapatkan vaksinasi sebelumnya."
Ilmuwan lain, seperti dr Harris Coulter, pakar vaksin internasional, mengatakan; "Ketika vaksin dinyatakan aman, keamanannya adalah istilah relatif yang tidak dapat diartikan secara umum". Sedang Dr Bernard Greenberg dalam sidang kongres AS pada 1962 mengatakan; "Kasus polio meningkat secara cepat sejak vaksin dijalankan. Pada 1957-1958, peningkatan sebesar 50%, dan pada 1958-1959 peningkatan menjadi 80%."
Masih banyak pernyataan ilmuwan yang menjelaskan betapa berbahayanya vaksinasi, sehingga jika selama ini pemerintah Indonesia menggembar-gemborkan bahwa generasi yang sehat adalah generasi yang sejak bayi mendapat imunisasi lengkap, klaim itu bohong belaka.
Pada 20 Februari 1981, Journal of the American Medical Association menerbitkan artikel berjudul "Rubella Vaccine in Susceptible Hospital Employees, Poor Physician Participation". Artikel itu menjelaskan bahwa jumlah partisipan terendah dalam imunisasi campak terjadi di kalangan praktisi medis di Jerman. Pasalnya, para praktisi itu menolak vaksinasi, khususnya suntikan vaksin rubella, karena berbahaya untuk kesehatan.
Neil Z. Miller, peneliti vaksin internasional, dengan menjelaskan begini tentang vaksinasi; "Sebelum vaksinasi besar-besaran 50 tahun yang lalu, di negara itu (Amerika) tidak terdapat wabah kanker, penyakit autoimun, dan kasus autisme". Sementara Barbara Loe Fisher, Presiden Pusat Informasi Vaksin Nasional Amerika, tegas mengatakan; "Vaksin bertanggung jawab terhadap peningkatan jumlah anak-anak dan orang dewasa yang mengalami gangguan sistem imun dan syaraf, hiperaktif, kelemahan daya ingat, asma, sindrom keletihan kronis, lupus, artritis reumatiod, sklerosis multiple, dan bahkan epilepsi. Bahkan AIDS yang tidak pernah dikenal dua dekade lalu, menjadi wabah di seluruh dunia saat ini."
Organisasi apakah klub itu? Selengkapnya, KLIK DI SINI. Korban pertama virus mematikan ini adalah ras kulit hitam di Afrika yang yang oleh Yahudi dianggap sebagai "salah satu kelompok yang tidak layak hidup". Virus itu disebarkan di Benua Hitam melalui vaksinasi cacar pada 1977.
Ketika Orde Baru berkibar, Indonesia mulai mengenal Program Keluarga Berencana (KB), program untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia. Presiden Soeharto berkilah kalau program ini digulirkan demi menjaga agar cadangan keuangan negera tidak kebobolan. Selain itu, menurut The Smilling General, banyaknya anak merupakan salah satu pemicu maraknya kemiskinan di Nusantara. Maka, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 8 Tahun 1970 tentang Pembentukan Badan untuk Mengelola Program KB, program ini dicanangkan sebagai program nasional dengan jargonnya yang terkenal hingga kini; Dua anak saja cukup.
Di masa lalu, para orang tua di Indonesia berpegang pada pepatah "Banyak anak banyak rejeki", sehingga kaum ibu tak segan-segan melahirkan anak hingga selusin. Program KB mematahkan pepatah itu. Tapi, sayangnya, KB bukan program yang murni dari buah fikiran para pejabat di era Orde Baru, karena selain Indonesia, banyak negara di dunia juga menerapkan program ini. Di China, program KB dinamakan jìhuà shengyù zhèngcè. Di negara ini, pemerintahnya bahkan memberlakukan jargon "Satu anak saja cukup".
Di Brasil, program KB bernama Planejamento Familiar. Sementara di India bernama National Population Policy, dan di Rusia dinamakan Kontrolya V Oblasti Planirovaniya Sem'i Naseleniya. Amerika Serikat dan Inggris juga menerapkan program KB, bahkan jauh sebelum Indonesia memberlakukannya, yakni pada 1921-an. Di kedua negara ini, program KB dinamakan Birth Control.
Siapakah penggagas program pengendalian penduduk dunia ini? Dia seorang Yahudi. Namanya Thomas Robert Malthus (1766-1834). Dia seorang pakar demografi Inggris, plus ekonom dan politikus yang dikenal karena pandangannya yang pesimistik. Menurut Malthus, pertumbuhan sumber daya manusia tidak simetris dengan potensi sumber daya alam. Dalam An Essay on the Principle of Population (Sebuah Esai tentang Prinsip mengenai Kependudukan), yang diterbitkan pada 1798, Malthus membuat ramalan yang terkenal bahwa jumlah populasi akan mengalahkan pasokan makanan, yang menyebabkan berkurangnya jumlah makanan per orang. Pada titik inilah kekacauan akan terjadi. Malthus lalu menawarkan solusi berupa preventive checks atau penundaan perkawinan. Inilah cikal bakal program KB. Karenanya, jangan heran, jika dalam program kampanye pun masyarakat disarankan untuk tidak buru-buru menikah alias jangan kawin muda.Dari ide Malthus ini kemudian muncul alat kontrasepsi kondom yang digagas Yahudi lain, Maria Stopes (1880-1950). Kegunaan alat ini jelas; untuk mencegah terjadinya kehamilan agar pertumbuhan jumlah penduduk goyim tidak mudah bertambah. Bahkan pada 2010, Maria Stopes Organization membuat sebuah layanan iklan untuk mengkampanyekan aborsi. Iklan ini memicu perdebatan karena bukan hanya dapat membuat angka seks bebas semakin tinggi, namun juga mengarahkan orang untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Salah satu penentang iklan ini adalah LSM anti aborsi Pro Life.
Dalam Alqur'an suah ke-11 ayat 6, Allah berfirman; "Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya".
Ayat ini membantah klaim Yahudi bahwa banyak anak hanya akan memicu kemiskinan, karena sesungguhnya setiap makhluk yang hadir ke muka Bumi telah dibekali Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan rezeki. Hanya saja seberapa banyak dan seberapa besar, tidaklah sama, dan miskin tidaknya kehidupan seseorang, sangat tergantung seberapa keras ia berjuang dalam menjalani hidupnya. Karenanya, jangan heran jika da'i kondang Aa Gym pernah berkata; "Kenapa kita takut akan rezeki Allah? Gajah saja gak sekolah gemuk-gemuk. Plankton yang hidup di dasar laut saja diberi rezeki. Bagaimana dengan kita sebagai makhluk hidup yang mulia?"
Cara Yahudi mengekang pertumbuhan penduduk goyim juga dilakukan dengan menyuntikkan zat-zat tertentu sejak bayi dan balita yang kita kenal dengan sebutan Program Imunisasi. Dengan menyuntikkan zat-zat tersebut, dalam kurun sekian tahun setelah para bayi dan balita disuntik, mereka tumbuh menjadi remaja/pemuda yang rentan terhadap serangan berbagai penyakit. Bahkan merebaknya autis ditengarai akibat vaksin MMR (measles, mumps rubella) yang digembar-gemborkan ampuh melawan campak, gondongan dan campak Jerman.
Jika merunut pada sejarah vaksin modern (imunisasi), kita akan tahu kalau penyebaran vaksin oleh Flexner Brothers didanai oleh salah seorang dedengkot Freemasonry, Illuminati dan Gerakan Zionis Internasional; keluarga Rockefeller. Keluarga ini pula yang berada di belakang berdirinya World Health Organization (WHO) pada 1948, organisasi di bawah PBB yang menganjurkan digalakkannya program imunisasi di seluruh dunia.
Dr James R. Shannon, mantan direktur Institusi Kesehatan Nasional Amerika, mengatakan; "Satu-satunya vaksin yang aman adalah vaksin yang tidak pernah digunakan". Sementara Dr Richard Moskowitz, ilmuwan dari Harvard University, Amerika Serikat, mengatakan; "Vaksin menipu tubuh supaya tidak lagi menimbulkan reaksi radang, sehingga vaksin mengubah fungsi pencegahan sistem imun."
Yang lebih membuat buku kuduk merinding adalah pernyataan Dr W.B. Clarke, peneliti kanker Inggris. Kata dia; "Kanker pada dasarnya tidak dikenal sebelum kewajiban vaksinasi cacar mulai diperkenalkan. Saya telah menghadapi 200 kasus kanker, dan tak seorang pun dari mereka yang terkena kanker tidak mendapatkan vaksinasi sebelumnya."
Ilmuwan lain, seperti dr Harris Coulter, pakar vaksin internasional, mengatakan; "Ketika vaksin dinyatakan aman, keamanannya adalah istilah relatif yang tidak dapat diartikan secara umum". Sedang Dr Bernard Greenberg dalam sidang kongres AS pada 1962 mengatakan; "Kasus polio meningkat secara cepat sejak vaksin dijalankan. Pada 1957-1958, peningkatan sebesar 50%, dan pada 1958-1959 peningkatan menjadi 80%."
Masih banyak pernyataan ilmuwan yang menjelaskan betapa berbahayanya vaksinasi, sehingga jika selama ini pemerintah Indonesia menggembar-gemborkan bahwa generasi yang sehat adalah generasi yang sejak bayi mendapat imunisasi lengkap, klaim itu bohong belaka.
Pada 20 Februari 1981, Journal of the American Medical Association menerbitkan artikel berjudul "Rubella Vaccine in Susceptible Hospital Employees, Poor Physician Participation". Artikel itu menjelaskan bahwa jumlah partisipan terendah dalam imunisasi campak terjadi di kalangan praktisi medis di Jerman. Pasalnya, para praktisi itu menolak vaksinasi, khususnya suntikan vaksin rubella, karena berbahaya untuk kesehatan.
Neil Z. Miller, peneliti vaksin internasional, dengan menjelaskan begini tentang vaksinasi; "Sebelum vaksinasi besar-besaran 50 tahun yang lalu, di negara itu (Amerika) tidak terdapat wabah kanker, penyakit autoimun, dan kasus autisme". Sementara Barbara Loe Fisher, Presiden Pusat Informasi Vaksin Nasional Amerika, tegas mengatakan; "Vaksin bertanggung jawab terhadap peningkatan jumlah anak-anak dan orang dewasa yang mengalami gangguan sistem imun dan syaraf, hiperaktif, kelemahan daya ingat, asma, sindrom keletihan kronis, lupus, artritis reumatiod, sklerosis multiple, dan bahkan epilepsi. Bahkan AIDS yang tidak pernah dikenal dua dekade lalu, menjadi wabah di seluruh dunia saat ini."
0 comments:
Posting Komentar