Untuk tempat sholat..!? Ya, Komandan Armada yang dikenal dengan nama
Cheng Ho atau Zheng He ini memang beragama Islam, dimana dikisahkan
ayahnya pernah naik haji dan ia sendiri disunat sejak kecil. Namun
perjalanan armada Cheng Ho bukanlah untuk menyebar-nyebarkan agama Islam
di tempat yang disinggahinya, walau ia muslim. Lebih layak kalau
perjalanan armadanya adalah untuk riset, menagih upeti dari Majapahit
dan mengamankan Sriwijaya dari serangan bajak laut yang juga orang-orang
Cina. Kota Palembang sekarang yang banyak dihuni orang-orang berwajah
Cina tapi beragama Islam mungkin bisa dijadikan kunci untuk menelisik
lebih jauh tentang peran Cina muslim dalam islamisasi di Indonesia. Juga
tentang keberadaan preman-preman Palembang yang kondang mungkin bisa
dihubungkan dengan adanya perkampungan yang dihuni para bajak laut di
masa lalu. Bagaimana dengan mpek-mpek? di daerah Cina selatan dikabarkan
ada makanan sejenis itu yang mungkin merupakan cikal bakal mpek mpek
Palembang.
Legenda Sinbad Sang Pelaut yang begitu populer di Timur Tengah juga terinspirasi oleh kisah legendaris Cheng Ho. Di Indonesia, terutama Jawa, juga terdapat jejak historis yang tak terbantahkan sebagai pengaruh misi muhibah Cheng Ho. Selain itu, juga cukup banyak berbagai karya sastra yang bertutur tentang Cheng Ho/Sam Poo Kong seperti yang ditulis Remy Silado (saya sendiri belum membaca, disarikan dari resensi seorang teman).
Fakta
harmoni Tionghoa-Jawa ini kemudian dirusak oleh Belanda dengan
menerapkan politik segregasi berupa passenstelsel, keharusan bagi setiap
orang Tionghoa untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak
bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal, dan wijkenstelsel,
pelarangan bagi Tionghoa untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan
mereka membangun satu ghetto yang kemudian dikenal dengan Pecinan
sebagai tempat tinggal. Sejak itu Tionghoa menjadi terisolasi dari
publik ramai, dan menjadi eksklusif. Fakta ini diperparah dengan adanya
penulisan sejarah Jawa yang Nerlando-centris sehingga semakin
mengucilkan peran dan eksistensi masyarakat Tionghoa terlebih Tionghoa
muslim di Indonesia. Hal inilah yang sepatutnya kita luruskan bersama.
Sumber.
Siapakah Cheng Ho sebenarnya?
Kisah
pelayaran Cheng Ho tidak hanya menorehkan jejak sejarah yang
mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya (laporan khusus Time di
bawah tajuk The Asian Voyage: In the Wake of the Admiral, ed. August
20-27, 2001) tetapi juga telah mengilhami ratusan karya ilmiah baik
fiksi maupun non-fiksi serta penemuan berbagai teknologi
kelautan-perkapalan di Eropa khususnya pasca penjelajahan sang maestro.
Legenda Sinbad Sang Pelaut yang begitu populer di Timur Tengah juga terinspirasi oleh kisah legendaris Cheng Ho. Di Indonesia, terutama Jawa, juga terdapat jejak historis yang tak terbantahkan sebagai pengaruh misi muhibah Cheng Ho. Selain itu, juga cukup banyak berbagai karya sastra yang bertutur tentang Cheng Ho/Sam Poo Kong seperti yang ditulis Remy Silado (saya sendiri belum membaca, disarikan dari resensi seorang teman).
Cerita
lisan Dampu Awang yang begitu kuat di masyarakat pesisir utara Jawa
juga disinyalir merupakan pengaruh dari legenda itu. Jadi siapakah Cheng
Ho sehingga pengaruhnya begitu besar?
Cheng
Ho sebetulnya adalah nama yang diberikan oleh Cheng Tzu atau Chu Teh
yang lebih populer dengan sebutan Yung Lo, kaisar ke-3 Dinasti Ming yang
berkuasa dari tahun 1403 sampai 1424. Nama asalnya adalah Ma Ho, lahir
1370 M dari keluarga miskin etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas
muslim Tionghoa campuran Mongol -Turki. Karena jasanya dalam turut
mengkudeta Kien Wen, akhirnya Ma Ho diberi jabatan penting oleh Kaisar
Yung Lo sebagai pemegang komando atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah
Tangga Istana yang melayani kaisar sebagai polisi rahasia (Seagrave,
1999).
Ini
merupakan jabatan sangat berpengaruh, sebagai bukti kepercayaan sang
kaisar pada Cheng Ho, ia diberi mandat untuk memimpin ekspedisi laut
sebagai Commander in Chief lewat sebuah dekrit kerajaan (Imperial
Decree). Sementara wakil dan sekretaris masing-masing dipegang oleh
Laksamana Muda Heo Shien (Husain) dan Ma Huan serta Fei Shin (Faisal)
sebagai juru bahasa Arab, selain Ma Huan yang memang mahir berbahasa
Arab juga Hassan, seorang imam di bekas ibukota Sin An (Changan). Dalam
menjalankan politik diplomasi laut ini, Kaisar Yung Lo mengeluarkan
armada berjumlah 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran lebih
kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk di dalamnya ahli
astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa, ahli geografi, para
tabib, juru tulis dan intelektual agama. Kisah itu kemudian ditulis
antara lain di Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming).
Sejak
1405, awal mula Cheng Ho mengadakan pelayaran sampai wafatnya, 1433 ia
telah mengadakan pelayaran selama 7 kali dan mengunjungi lebih dari 37
negara: dari berbagai pelabuhan di Nusantara dan Samudra Hindia sampai
ke Sri Langka, Quilon (Selandia Baru), Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah,
Magadisco dan Malindi. Dari Campa hingga India, dan dari sepanjang Teluk
Persia dan Laut Merah hingga pesisir Kenya.
Dilihat
dari kuantitas dan waktu, ekspedisi Cheng Ho jauh melampaui para
pengembara mana pun di Eropa: Chistopher Columbus, Vasco da Gama,
Ferdinand Magellan, Francis Dranke dan lain-lain. Karena prestasinya
yang luar biasa menjadikan Cheng Ho semakin dimitoskan dan diberi
julukan kaisar sebagai Ma San Bao ("Ma" si Tiga Permata). Julukan
sebagai ungkapan rasa sayang dalam adat Tionghoa. Setelah Cheng Ho
meninggal dunia karena sakit pada tahun 1435, di usia 65 tahun, ia
dimakamkan di Niushou (Bukit Kepala Banteng), Nanjing, Cina Daratan.
Dalam
komunitas Tionghoa dewasa ini, terlepas dia seorang muslim atau tidak,
tokoh Cheng Ho menjadi semacam tokoh mitologi yang diagungkan. Ia tidak
hanya dipuja dan dikagumi sebagai seorang Bahariwan Agung tetapi juga
disembah sebagai dewa di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Poo Kong
terutama oleh penganut agama leluhur Tionghoa. Di kemudian hari,sang
maestro ini dikenal dengan berbagai sebutan: Sam Poo Tay Djin, Sam Poo
Tay Kam, Sam Poo Toa Lang dan lain-lain.
Ini
adalah sebuah anakronisme historis. Sebab Cheng Ho yang manusia biasa
dan muslim itu kemudian diberhalakan sebagai dewa yang disembah di
kelenteng. Lebih menyedihkan lagi, sejarah Cheng Ho selalu ditulis
secara hagiografis yaitu berlebih-lebihan yang cenderung melampaui
manusia lumrah bukan menggunakan pendekatan sejarah kritis. Akibatnya,
sosok Cheng Ho tampil sebagai manusia yang nyaris sempurna yang hanya
pantas ada di alam mitos. Padahal Cheng Ho adalah seorang Muslim
Tionghoa lumrah sebagaimana lainnya yang tentu memiliki berbagai
keterbatasan. Jasa terbesar dia barangkali adalah telah menjalin
persahabatan antara Tiongkok dengan negara atau kerajaan lain di dunia
ini yang diperkukuh dengan pertukaran kebudayaan yang masih tampak
hingga dewasa ini, termasuk di Jawa.
Sino-Javanese Muslim Cultures
Memang
telah terjadi apa yang disebut "Sino-Javanese Muslim Cultures" yang
membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem
sampai Gresik dan Surabaya sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan
Tionghoa Islam lain dengan Jawa. Bentuk Sino-Javanese Muslim Cultures
itu tidak hanya tampak dalam berbagai bangunan peribadatan Islam
misalnya masjid, yang menunjukkan adanya unsur Jawa, Islam, Tionghoa
tetapi juga berbagai seni/sastra, batik, ukir dan unsur kebudayaan lain.
Sayang, fenomena Sino-Javanese Muslim Cultures itu tidak terpelihara
dengan baik bahkan oleh masyarakat Tionghoa muslim sendiri.
Banyak
dari mereka yang tidak mengerti mengenai asal-usul/genealogi mereka.
Para sejarawan Tanah Air juga sangat langka yang merawat atau memelihara
kesejarahan akulturasi Tionghoa, Islam, Jawa ini. Mereka umumnya
terkena penyakit intellectual laziesness atau kemalasan intelektual
untuk melakukan penggalian sejarah yang memang minim dokumentasi
tertulis ini.
Perpustakaan
Nasional juga tidak menyimpan dokumen-dokumen berharga kaitannya dengan
kesejarahan Jawa terutama Jawa prakolonial sebuah kurun di mana
perjumpaan Tionghoa, Islam, Jawa mengalami intensitas tinggi. Oleh
karena itu sangatlah wajar apabila setiap kali diadakan pembicaraan
mengenai asal-usul Islam di Jawa, para sejarawan selalu mengulang-ulang
teori klasik, sekaligus klise, yakni bahwa Islam yang tersebar di Jawa
ini melalui para pedagang dari India Belakang (Gujarat) dan Timur Tengah
terutama Persia. Padahal jika kita mau jujur, bangsa Tionghoa-lah
sebetulnya yang memiliki peran cukup signifikan dalam proses Islamisasi
di Jawa khususnya.
Argumentasi
ini tidak hanya didasarkan pada laporan sejarah yang dilakukan Ma Huan
(seorang muslim Tionghoa yang juga sekretaris Cheng Ho) yang pada abad
ke-15 mengunjungi pesisir Jawa tetapi juga oleh beberapa pengembara
asing lain seperti de Baros (Portugis), Ibnu Battuta (Maghrib), dan
Loedwicks (Belanda). Teks-teks babad lokal juga menceritakan adanya
orang-orang Tionghoa muslim yang mempunyai pengaruh kuat dalam proses
penyebaran Islam di Jawa.
Fakta
yang tak terbantahkan tentu saja adalah apa yang saya sebut
Sino-Javanese Muslim Cultures tadi. Ukiran padas di masjid kuno
Mantingan, Jepara , menara masjid di pecinan Banten (Jawa Barat),
konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik (Jawa Timur), arsitektur
Keraton dan Taman Sunyaragi di Cirebon (Jawa Barat), konstruksi Masjid
Demak (Jawa Tengah) terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang
kura-kuranya, konstruksi Masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya
semuanya menunjukkan adanya keterpengaruhan budaya Tionghoa yang sangat
kuat.
Peninggalan
sejarah yang tak terelakkan dari masyarakat Tionghoa muslim adalah dua
masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta, yakni Masjid Kali Angke yang
dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh
Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai. Bukti-bukti kesejarahan ini belum
termasuk kelenteng kontroversial yang diduga kuat oleh beberapa
sejarawan sebagai bekas masjid yang dibangun masyarakat Tionghoa muslim
pada abad ke-15/16. Kelenteng-kelenteng dimaksud adalah Kelenteng Ancol
(Jakarta), Kelenteng Talang (Cirebon), Klenteng Gedung Batu (Simongan,
Semarang), Kelenteng Sampokong (Tuban) dan Kelenteng Mbah Ratu
(Surabaya). Inilah sekelumit dari fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di
atas.
Fakta
Sino-Javanese Muslim Cultures di atas sekaligus menunjukkan bahwa
komunitas Tionghoa di negeri ini pernah hidup berdampingan secara damai
dengan etnis lain, Jawa, Betawi. Mereka tidak hanya saling tukar-menukar
kebudayaan tetapi lebih dari itu juga mengadakan perkawinan silang
dengan perempuan setempat karena kita tahu para pengembara Tionghoa pada
waktu itu semuanya laki-laki. Kata nyonya yang begitu melekat dalam
masyarakat kita pada awalnya berasal dari akar kata Hokian "nio" atau
"niowa" yang berarti perempuan lokal yang dinikahi laki-laki Tionghoa.
Dari
sinilah maka tidak mengherankan apabila banyak masyarakat Indonesia
yang sebetulnya masih memiliki darah Tionghoa. Hal ini misalnya
ditunjukkan dengan adanya tembong biru pada pantat atau bagian bawah
lain dari bayi yang baru lahir. Tembong biru itu mengisyaratkan bahwa si
bayi mempunyai darah Mongoloid atau darah Tionghoa (Mongoolse Vlek).
Sumber.
0 comments:
Posting Komentar