Islam adalah dien yang
syamil, tak terpisah antara Agama dan Negara, tidak ada satu bagian di
dalam kehidupan ini kecuali Islam telah mengaturnya. Hakikat ini tetap
melengket di dalam benak kaum muslimin di sepanjang sejarah, akan tetapi
tatkala Khilafah Islamiyah menderita sakit berat, yang tidak lama
kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir, muncullah ke permukaan
paham sesat yang memporak-porandakan Aqidah Islamiyah, menghantam
kekuatan dan kesatuan kaum muslimin di seluruh pelosok penjuru dunia.
Terbagilah umat Islam ke dalam negara-negara kecil yang terkotak-kotak,
tak mengenal satu dengan lainnya. Pemahaman “Ummatan Wahidah” ini,
tertelan di tengah-tengah derasnya musuh Islam yang datang silih
berganti menghajar batu karang yang mulai rapuh itu.
Tersebutlah “British”, lambang supermasi
penjajah waktu itu berusaha menghembuskan angin panas “ Paham
Nasionalisme” di tengah berkobarnya Perang Dunia I, berkeliling seraya
menebarkan racun yang sangat berbisa ini di pelataran dunia Islam.
Dengan dalih kemanusiaan, pendekatan antar umat beragama diangkat
kepermukaan, bahasa arabpun tak luput dari incaran srigala-srigala Barat
yang menjulurkan lidahnya keluar masuk, haus akan darah kaum muslinin
yang tergeletak tak berdaya.
Maka kewajiban bagi umat Islam yang
sadar akan bahaya musuh-musuhnya, untuk mengembalikan dan membangun
kembali bangunan yang telah roboh itu. Menanamkan Aqidah As-Shohihah ke
dalam jiwa putra-putranya yagn terancam keselamatannya, menepis
syubhat-syubhat yang terus dihembuskan kaum kuffar di bumi yang suci ini
إنّ هذه أمتكم أمة واحدة وأنا ربكم فاعبدون (92)
“Sesungguhnya umat kalian ini ummat yang satu, dan Aku (Allah) adalah Rabb-mu, maka sembahlah Aku.[1]