Tepatnya pada tahun 1919 M
pecahlah revolusi Mesir menentang penajajahan Inggris atas negeri itu.
Revolusi yang dipimpin oleh ulama-ulama Azhar ini mampu membuat Inggris
mundur.
Melihat gelagat yang tidak menyenangkan
tersebut, pemerintahan Inggris segera mengirim Lord Clinbe ke Mesir
sebagai duta yang baru untuk melihat dari dekat revolusi ini. Setelah
satu bulan meneliti keadaan , segera ia mengirim telegram yang ditujukan
kepada Menlu Inggris di London.
Telegram tersebut menyebutkan beberapa
langkah yang harus diambil oleh pemerintahan Inggris untuk memadamkan
api revolusi tersebut di antaranya adalah:
1/ Revolusi ini berpusat di Al-Azhar dan
sangat membahayakan kedudukan Inggris, maka Pemerintahan Inggris
diharapkan bisa segera mengambil kebijaksanaan baru.
2/ Meminta agar Sa’ad Zaglul dibebaskan dan dikirim ke Kairo.
Sa’ad Zaglul inilah yang menjadi dalang
terjadinya perubahan Revolusi Islam menjadi Revolusi Nasionalis yang
perjuanganya sebatas pembebasan tanah air saja. Dia juga yang
menyusupkan orang-orang Nasrani ke dalam barisan orang Islam ketika
mengadakan konfrontasi dengan penjajah.
“Agama hanya milik Allah, akan tetapi Tanah Air milik bersama” begitulah
syiar yang dipakai penghianat ini untuk mengaburkan pemahaman jihad
Islami. Nampaknya syiar ini sekarang masih berkembang di negara lembah
Nil tersebut, terbukti masih terpampangnya tulisan-tulisan yang terlalu
membanggakan Mesir sebagai kota leluhur, seperti syiar yang terpampang
di depan Fakultas Kedokteran, Universitas Al-Azhar yang berbunyi: “ Misr qobla Kulli Sya’i” (Mesir dahulu sebelum segala sesuatu)
Usaha-usaha untuk menggali kebudayaan
nenek moyang terus dilakukan oleh Barat, terutama di Negara- negara
Islam. Usaha-usaha itu bertujuan untuk menggiring umat Islam agar selalu
mengagung-agungkan warisan leluhurnya.
Setelah ditemukan kuburan Tut An-Mun
(Ratu pada dinasti Fir’aun) di sela-sela reruntuhan istana Fir’aun,
mulailah digalakkan dengan apa yang dikenal dengan gerakan
“Fir’aunisasi”
Istilah-istilah kebudayaan nenek moyang
inilah sekarang yang mendominasi kehidupan bangsa Mesir, gambar
istri-istri Fir’aun yang porno turut menghiasi jalan-jalan besar kota
Kairo, menghiasi amplop-amplop dan kertas-kertas surat. Bahkan kalau
kita membeli perangko di Mesir akan sulit kita dapatkan perangko yang
tidak bergambar Fir’aun, istri-istrinya yang telanjang maupun
gambar-gambar tempat persembahan mereka. Sering pula nama Fir’aun ini
dipakai untuk nama-nama yayasan, toko-toko,dan hasil-hasil produksi
mereka.
Gerakan Fir’aunisasi ini didalangi oleh Muhammad Husein Haikal, Abdullah Anan, Hasan Subkhi.[1]
Salah satu tujuan yang ingin dicapai
oleh kelompok ini adalah menyebarkan nilai-nilai ruhani Fir’aun dengan
segala bentuk sesembahan-nya dan menanamkannya kepada umat Islam Mesir.
Padahal kalau kita teliti lebih jauh, ternyata nilai-nilai mistik
Fir’aun ini mempunyai hubungan erat dengan mistik Yunani.
Salah satu penyair terkenal yang mendukung Fir’aunisasi adalah Hafid Ibrahim, ia pernah menulis:
“Aku pemuda Mesir, jari jemariku dari keturunan anak-anak Pyramid yang abadi”
Dalam kesempatan lain ia juga menulis:
“Semua manusia diam tertegun….
Bagaiman aku membangun kemuliaan sendiri….
Sedangkan para pembangun pyramid pada masa lalu cukuplah sebagai jawaban atas sebuah tantangan.”
Begitu gencarnya propaganda Fir’aunisasi
yang dilakukan musuh-musuh Islam di negeri Kinanah tersebut, sehingga
umat Islam, khususnya yang tinggal di dalamnya mendapat getahnya. Paling
tidak ada tiga kerugian yang dirasakan kaum muslimin di Mesir:
a/ Semakin jauhnya generasi Islam dari
kebudayaan para pendahulunya. Mereka menjadi asing dengan
pahlawan-pahlawan Islam yang telah banyak berperang dalam penyebaran
Islam di Mesir, sehingga nama-nama besar, seperti : Amru bin Ash, Imam
Syafi’i, Imam Laits, Shalahudin Al-Ayyubi, Ibnu Taimiyah mulai redup dan
sedikit demi sedikit, pelan tapi pasti mulai hilang dari jiwa generasi
muslim.
b/ Tergesernya tafakhur (rasa bangga)
terhadap kebudayaan Islam, terganti dengan rasa bangga terhadap
kebudayaan nenek moyang, tanpa melihat lagi nilai-nilai ke-Islaman-nya.
Berapa banyak generasi Islam hari ini,
yang bangga karena bisa mengirimkan surat dengan sampul yang bergambar
Fir’aun dan kebudayaannya, walau dengan biaya yang lebih mahal. Dan
sedikit sekali yang menggunakan sampul yang bergambar Al-Azhar atau
masjid-masjid yang bersejarah lainnya.
c/ Semakin banyaknya turis asing yang
keluar masuk Mesir. Turis-turis tersebut sebagai mata-mata kaum kuffar,
mereka juga menyebarkan kerusakan di dalamnya. (Walau mereka berdalih
bahwa mereka datang hanya untuk mengadakan penelitian sejarah dan
terdorong rasa kagumya yang sangat terhadap Mesir, yang kaya akan
kebudayaan yang bernilai tinggi)
Hal ini terlihat jelas sekali, ketika
dengan bebas mereka membuka aurat di jalan-jalan kota Kairo, tanpa ada
seorangpun yang berani melarangnya. Pemandangan seperti ini, selain
merusak akhlaq para pemuda Mesir juga mendorong para pemuda Mesir untuk
meniru gaya dan gerak-gerik mereka.
Maka tak aneh, kalau sekarang para
pemudi Mesir bergentayangan di jalan-hjalan kota Kairo dengan baju mini
dan ketat melenggak-lenggok mengundang fitnah bagi siapa saja yang
memandangnya.
Akibatnya, karena jengkelnya dengan
terhadap pemandangan seperti ini, sebagian aktivis muslim mencoba
merubahnya dengan kekerasan. Sering terjadinya peledakan di dalam
bis-bis yang mengangkut para turis dan tempat-tempat sejarah hanyalah
luapan rasa marah umat Islam terhadap fenomena tersebut.
Anehnya, ulama-ulama Azhar sendiri malah
menuding dan memojokkan para aktivis tersebut. Tanpa mengritik sedikit
pun atas kebijaksanaan pemerintah Mesir yang sebenarnya adalah rekayasa
orang-orang sekuler untuk menghancurlkan Mesir.
Seringkali ulama Azhar tersebut meng-identikan masuknya turis asing ke Mesir dengan masalah “Aqdul Al-Aman” salah satu bab yang ada dalam fikih Islam.
Analogi tersebut rasanya kurang tepat,
karena aqdul aman (perjajanjian untuk memberikan keamanan kepada orang
kafir yang masuk ke Negara Islam) yang dilakukan pemerintahan harus
memenuhi beberapa syarat, diantaranya adalah orang kafir yang masuk ke
negeri Muslim harus menjaga norma-norma Islam, tidak boleh membawa
kerusakan apalagi menjadi mata-mata untuk kepentingan musuh Islam.
Hal-hal seperti ini telah diterangkan para ulama di dalam Ahkam Ahlu Dzimmah dan di dalam pembahasan Al-Wala’ wal Al-Bara’.
Sementara itu di Negara Iraq, kita dapati sebagian masyarakat masih mengagung-agungkan keturunan Al-Asyuriun.
Partai Baths yang beranggotakan Sadam
Husein merupakan partai elit di Negara tersebut. Partai ini pertama kali
didirikan pada tahun 1940 oleh Mishil Aflaq seorang Nasrani Lebanon
yang mempunyai andil besar dalam merumuskan Ideologi Nasionalis Arab.
Salah seorang penyair partai ini pernah menulis:
“Jangan tanya tentang agamaku atau mazdabku. Aku adalah seorang Sosialisme Baths Arobi”[2]
Partai ini hingga kini masih dominan di
Syiria dan Iraq. Begitu juga yang terjadi di Lebanon dengan kebudayaan
Firigiah-nya, atau yang berada di Sudan dengan kebudayaan Zanjiah-nya.
[1] Anwar Jundi, Ashalatu al-fikri al- Islami, Dar al-Fadhilah, hal : 71
[2] Muhammad Sa’id al-Qahthani, Al-Wala wa al-Bara’, Dar al-Tayyibah, hal: 403