Siapa saja yang membaca
al Qur’an dengan tadabbur dan seksama, akan mendapatkan bahwa Al Wala’
dan Al Bara’ ( yang merupakan pengejawantahan dari kalimat tauhid )
adalah masalah yang sangat prinsipil.
Ayat-ayat di dalam al-Qur’an, yang
menyuruh seorang muslim untuk memberikan loyalitasnya hanya kepada
Allah, Rasul, dan orang-orang beriman sangat jelas dan gamblang. Aqidah
Al Wala’ dan Al Bara’ ini merupakan inti kekuatan umat Islam.
Syeikh Hamad bin Atiq, salah satu tokoh
ulama abad 20, pernah menyebutkan urgensi Al Wala’ dan Al Bara’ di dalam
kehidupan umat, salah satu tulisannya adalah:
“Bahwa tidak ada suatu hukum paling
jelas yang disebutkan dalam Al-Qur’an, setelah kewajiban bertauhid dan
haramnya syirik kecuali masalah Al Wala’ dan Al Bara’.”[1]
Seorang muslim yang berpegang teguh prinsip ini, tak akan goyah sedikitpun menghadapi hantaman yang silih berganti.
Rasulullah akan memberikan predikat
“keimanan terkuat” bagi yang sanggup mempertahankan prinsip ini, dalam
suatu hadits disebutkan:
[1] Muhammad Sa’id Al Qohtoni, Al Wala’ wal Bara’, (Dar al- Toyyibah), hal.6
“Ikatan keimanan yang paling kuat adalah
yang terwujud di dalam memberikan loyalitas dan menyatakan permusuhan,
serta mencintai dan membenci karena Allah semata’.( HR. Ahmad)[1]
Tatkala Barat mengetahui rahasia
kekuatan ini, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menghantam dan
melenyapkannya, atau paling tidak melemahkan aqidah al Wala’ dan Bara’
tersebut dari tubuh umat Islam. Paham “Nasionalisme”lah, yang menjadi
salah satu pilihan mereka untuk mewujudkan cita-cita busuk tersebut.
Akibatnya, sebagai kenyataan pahit yang harus ditelan umat Islam adalah
hilangnya pemahaman al Wala’ dan al Bara’ ini dari jiwa para
generasinya, loyalitas mereka kepada dienul Islam sedikit demi sedikit
semakin menipis, yang akhirnya dihempaskan oleh pemahaman-pemahaman
sesat.
Mereka beramal dan berjuang bukan lagi
karena membela kepentingan Islam, atau demi tegaknya kalimatullah di
muka bumi ini, begitu juga kepercayaan bahwa Islam merupakan rahmat bagi
seluruh alam, mulai goyang. Mereka tidak mau lagi menengok lagi
nilai-nilai dan ajaran Islam untuk memakmurkan dunia dan memajukan
sebuah bangsa.
Oleh karenanya, jauh-jauh sebelumnya,
Islam telah mewanti-wanti umatnya supaya tidak terperangkap dalam
pemahaman sesat seperti ini. Dalam sebuah hadits shohih Rasulullah saw
bersabda:
“Dan barangsiapa mati di bawah bendera
kefanatikan, dia marah karena fanatik kesukuan atau karena ingin
menolong kebangsaan kemudian dia mati, maka matinya seperti mati
jahiliyah (HR. Muslim)
Larangan keras ini lebih dirinci lagi
oleh syaikh Muhammad Said Al-Qahthani dalam tesisnya yang berjudul Al
Wala’ wal Al Bara’, beliau mengatakan:
“ Bahwa Nasionalisme merupakan salah
satu bentuk kesyirikan, karena dia akan menuntut seseorang untuk
berjuang membelanya, dan membenci setiap kelompok yang menjadi musuhnya –
tanpa melihat muslim atau tidak-, dengan demikian secara tidak langsung
ia telah menjadikannya sebagai tandingan Allah”.[2]
Bahkan Muhammad Qutb meletakkan faham
Nasionalisme sejajar dengan faham-faham sesat lainnya seperti komunisme,
sekulerisme, demokratisme, yang nota benenya bertentangan dengan aqidah
Islam. Oleh karenanya wajar apabila beliau mengatagorikannya sebagai
salah satu yang bisa membatalkan ke-Islaman seseorang. Beliau beralasan,
bahwa paham – paham itu mengajarkan pengikutnya untuk memisahkan Islam
dari kehidupan nyata.
Sebenarnya, pendapat beliau ini perlu
diperincikan lagi, karena seseorang yang bisa dicap sebagai orang
murtad, harus melalui syarat-syarat tertentu sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi penulis
lebih cenderung untuk menafsirkan tulisan Muhammad Qutb tersebut sebagai
bayan (sekedar penjelasan) bahwa pekerjaan semacam itu adalah salah
satu dari bentuk kekafiran. Karena tidak semua orang yang mengerjakan
amal yang mengandung kekafiran pasti dia telah kafir kecuali setelah
memenuhi beberapa persyaratan.
Yang jelas, faham Nasionalisme adalah pemahaman yang sangat membahayakan aqidah Islam.”[3]
Pendapat Muhammad Qutb tersebut, tidak
jauh berbeda dengan apa yang ditulis ustadz Abul A’la al Maududi di
dalam salah satu karya tulisnya, beliau menolak digabungkannya antara
Islam dengan faham Nasionalisme. Berarti, penulis asal Pakistan ini
tidak menyetujui seseorang yang mengatakan muslim nasionalis, karena
kedua-duanya tidak bisa bertemu.[4]
“Demikianlah manusia terbagi menjadi dua
partai besar, partai Allah dan partai Setan, menjadi dua bendera,
bendera kebenaran dan bendera kebatilan. Seseorang hanya bisa memilih
salah satu dari keduanya…….., tidak ada bendera kekeluargaan atau
kekerabatan, tidak ada bendera tanah air maupun kesukuan, yang ada
hanyalah bendera aqidah…………..”[5]
Akhirnya kita patut merenungi salah satu sya’ir yang sering dikumandangkan anak-anak sekolah :
“Cina dan Arab adalah milik kita
Begitu juga India dan semuanya milik kita
Islam telah menjadi dien kita
Seluruh alam adalah Negara kita”.
[1] Ibnu Rojab, Jami’ul Ulum Wal Hikam, (Muassatur Risalah, 1994), hal. 124
[2] Muhammad Sa’id Al Qohthoni, Al Wala’ wal Bara’, ( Darut Toyyibah, 1409), hal. 42
[3] Muhammad Qutb, Lailaha illallah Aqidatan wa syari’atan, hal. 140
[4] Abul A’la Al Maududi, Ummatul Islam Waqodhiyatul Qaumiyyah, Hal. 174
[5] Sayyid Qutb, Fi Dhilal Al- Qur’an, (Darus Syuruq, 1994), Juz. 6, Hal. 3515-3516