Disana ada beberapa
kekeliruan dan kesalahpahaman di dalam menyikapi pahama Nasionalisme.
Oleh karenanya, dalam bab ini akan dijelaskan kekeliruan-kekeliruan
tersebut beserta jawaban –jawabannya agar para pembaca menjadi jelas,
dan tidak diselimuti kerancuan di dalam menyikapi paham Nasionalisme
ini.
Kekeliruan Pertama :
Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa
faham Nasionalisme termasuk salah satu dari ajaran Islam. Bahkan
menurut mereka, paham ini pernah di contohkan oleh Rasulullah saw, pada
waktu kedatangan beliau pertama kali ke Madinah, ketika beliau
mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi yang tinggal di kota tersebut,
yang kemudian perjanjian itu terkenal dengan “Konstitusi Madinah”.
Ironisnya lagi, pemahaman-pemahaman yang sering mengaburkan ajaran Islam
ini, sering diungkapkan oleh sarjana-sarjana muslim lulusan Barat,
seperti Nur Chalis Majid, Dawam Raharjo dan kawan-kawannya.[1]
Sebenarnya Konstitusi Madinah yang
ditanda tangani oleh Rasulullah saw tersebut, tidak bisa dijadikan dasar
untuk melegalisasikan Nasionalisme. Perjanjian antara kaum muslimin dan
bangsa Yahudi untuk bekerja sama dalam menjaga keamanan kota Madinah
tersebut sangat berbeda dengan gerakan Nasionalisme yang dimotori oleh
antek-antek penjajah
[1] Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Di Indonesia, Paramadina, Desember 1995, hal.195
Perbedaan-perbedaan tersebut terlihat pada beberapa point dibawah ini :
Pertama : Orang-orang
Yahudi waktu itu, walaupun menyimpan rasa benci pada kaum muslimin, akan
tetapi mereka belum menampakkannya dalam bentuk konfrontasi fisik Oleh
karenanya, ketika mereka mencoba untuk mengganggu ketentraman kaum
muslimin yaitu pada waktu mereka sengaja mengganggu salah seorang wanita
muslimah yang kebetulan berjalan di tengah-tengah pasar. Rasulullah saw
sebagai pucuk pimpiman kaum muslimin waktu itu, tidak memberikan
kesempatan pada mereka sedikitpun untuk tinggal di Madinah lagi.
Kedua : Kepemimpinan
waktu itu dipegang oleh Rasulullah saw secara mutlak dan ditegakkannya
Syariat Islam di dalam kehidupan sehari-hari dengan memberi kesempatan
orang-rang Yahudi melaksanakan ajarannya agamanya.[1]
Adapun rincian ajaran Islam terhadap masalah seperti ini, sudah banyak
dijelaskan oleh para ulama di dalam “Ahkam Ahlu Dzimmah” atau di dalam
kitab Al Jihad. Kedua poin tersebut ini, tidak didapati pada gerakan
Nasionalisme yang dipimpin oleh antek-antek penjajah seperti Sa’ad
Zaghlul, Saddam Husein dan lain-lain. Kemudian perlu diajukan beberapa
pertanyaan kepada mereka yang mengaku dirinya muslim, namun masih terus
bersih keras untuk memperjuangkan Nasionalisme :
1/ Apakah Syariat Islam akan ditegakkan di dalam Negara Nasionalis?
2/ Apakah kaum muslimin merasa tentram
di dalamnya dan tidak pernah mendapatkan gangguan dari pihak-pihak luar
(non muslim) yang tinggal satu negara dengan mereka ?
3/ Kemudian kalau mendapatkan gangguan
dari luar, apakah pemimpin mereka mampu bertindak tegas sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah saw ketika berhadapan dengan pengkhianatan Yahudi?
4/ Kemudian yang terakhir, apakah ada
contoh yang nyata didalam sejarah kehidupan manusia, yang bisa kita tiru
dari sebuah masyarakat (Negara) yang menganut paham Nasionalisme dan
mampu membawa kebahagiaan umat manusia?
Sebetulnya teori-teori yang mereka
ungkapkan tidak jauh dari teori-teori Barat tentang kemanusiaan yang
tidak pernah terwujud di dalam kenyataan. Oleh karenanya, sangatlah
wajar kalau Muhammad Yaqzhan mengeluarkan pernyataan, bahwa gerakan
pembaruan keagamaan yang dipimpin oleh Nur Kholis adalah gerakan yang
hanya didasari oleh hasil rekaan dan lamunan, tidak berpijak pada
kriteria dan kaidah-kaidah yang sudah baku dan telah teruji kebenarannya
baik secara syari’ ataupun secara akal sehat.[2]
Kekeliruan kedua:
Seringkali kita dapati tokoh-tokoh
Nasionalis menyetir sebuah hadist yang sekiranya bisa menguatkan gerakan
mereka. Akibatnya, masyarakat awam pun ikut-ikutan untuk berdalil
dengannya, bahkan sebagian dai’ muslim seringkali memakainya di dalam
ceramah-ceramah mereka. Hadits tersebut berbunyi:
حب الوطن من الإيمان
“cinta tanah air merupakan bagian dari pada keimanan”
Paling tidak ada dua point yang perlu diketengahkan di sini, untuk menjelaskan permasalahan di atas:
Pertama : Hadist di
atas adalah hadist maudhu’ yaitu hadits yang dikarang seseorang untuk
tujuan tertentu, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Nasiruddin
al-Albani, pakar hadist abad ini.[3] Dr.Adnan Ali Ridho, penulis Palestina yang sangat produktif, pernah menyebutkan bahwa:
”…Fitnah yang pertama muncul kepermukaan
adalah Nasionalisme, ia telah dikemas sedemikian rupa, sehingga keluar
dengan hiasan syetan jin dan manusia, disebarkan kepermukaan, dimasukan
ke dalam otak-otak manusia, ditulis di koran-koran dan majalah majalah,
dijadikan kurikulum sekolah-sekolah. Oleh karenanya, anda jangan merasa
heran kalau propaganda ini sampai puncaknya, dengan bermunculnya
putra-putra Islam yang menamakan Nasionalisme dengan lebel Islam dan
mengemasnya degan pernyataan bahwa ia adalah bagian dari keimanan,
sehingga jiwa-jiwa lemah dan bodoh terpengaruh dengan provokasi tersebut
”.[4]
Alasan lain untuk mengatakan bahwa
hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah saw adalah terletak pada
susunan kata-katanya yang rancu. Hal itu, karena kecintaan seseorang
pada tanah air, merupakan tabi’at manusia yang seorang pun tidak bisa
memungkirinya, sebagaimana ia mencintai dirinnya sendiri atau mencintai
harta, perempuan, perhiasan, dan lain sebagainya, yang semua orang sudah
memakluminya. Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an, ( Qs.
Ali Imran, ayat : 14 ).
Orang yang mengatakan bahwa cinta tanah
air merupakan bagian dari keimanan, berarti ia harus juga mengatakan
bahwa cinta harta merupakan sebagian dari keimanan. Jelas bahwa kedua
pernyataan itu tidak benar, kecuali kalau kecintaan tersebut dikaitkan
dengan masalah keimanan, sebagaimana dijelaskan pada point kedua.
Kedua : Kalau
seandainya hadits itu kita anggap shahih, maka artinya bukan seperti
yang difahami oleh orang-orang nasionalis, tapi arti hadits itu harus
disesuaikan dengan ajaran Islam, karena di dalam Islam tidak terjadi
pertentangan antara hadits yang shahih dengan hadits shahih yang
lainnya, begitu juga antara al-Qur’an dan Hadist.(kaidah-kaidah seperti
ini telah dijelaskan oleh ulama hadits dan fiqh). Maka untuk membenarkan
hadits tersebut perlu ditambahkan keterangan sebagai berikut:
Cinta pada tanah air ( yang ditegakan di
dalam syari’at Islam ) adalah sebagian dari iman. Dengan tambahan
seperti itu makna hadits maudhu’ itu menjadi benar. Hal itu, karena
cintanya pada tanah air tersebut didasari atas cintanya pada Allah.
Karena Allah mencintai tanah air yang ditegakan di dalamna Syariat Islam
. Sebaliknya, Allah membenci tanah air yang menginjak-injak hukum-Nya.
Tanah air seperti ini tidak boleh dibela dan dicintai kecuali dalam
rangka menegakkan hukum Allah.
Barangkali arti seperti inilah yang di
maksud oleh pemimpin-pemimpin Islam dalam pidato-pidato dan tulisan
mereka antara tahun 1920 s/d 1950, seperti pidato Omar Said
Tjokroaminoto di depan konggres Syarekat Islam pada tahun 1916 dan
tulisan Muhammad Natsir tahun 1955. Begitu juga yang ditulis tokoh-tokoh
JIB ( Jong Islamieten Bond), seperti Samadikoen, Soedewo dan Kasman
Singodimedjo.[5]
Sa’id Hawa di dalam satu tulisannya menyatakan bahwa:
“ Tanah air yang tidak melindungi agama
Islam dan tidak ditegakkan di dalamnya Syari’at Islam dinamakan Darul
Harby, yang seorang muslim harus memeranginya, walaupun itu adalah tanah
airnya sendiri dan di dalamnya ada anak dan saudara dan hartanya.”[6]
Beliau menguatkan pendapatnya tersebut
dengan pristiwa “Fathul Mekkah”, ketika itu, Rasulullah SAW bahkan
memimpin sendiri pasukan Islam yang jumlahnya mencapai 10.000 personil
untuk menaklukan kota Mekkah, kota di mana beliau dilahirkan, di
dalamnya ada kerabat-kerabat dekatnya, harta-harta para sahabatnya. Kota
Mekkah pada waktu itu belum bisa disebut Darul Islam, kecuali setelah
tunduk dengan hukum Islam dan ditegakkannya syariat Allah.[7]
Di samping dua point dan pendapat Sa’id
Hawa di atas, penulis perlu menyebutkan pendapat Ahmad Hasan yang
dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu Islam di Indonesia, di dalam
satu perdebatannya dengan Ir.Sukarno beliau menulis:
“ Hendaklah Tuan Soekarno mengerti,
bahwa mengajak orang mencintai tanah air lain dengan menganjurkan
Ashobiyah. Satu dari Ashobiyah itu ialah menganjurkan supaya sebuah
negeri diurus secara kehendak bangsa, tidak secara wet Allah.” [8]
Beliau juga mengatakan bahwa:
“ Cinta pada tanah air tidak dilarang
oleh agama. Cinta tanah air bagi seorang muslim adalah memajukan
pelajaran, perekonomian, pertukangan dan sebagainya yang memajukan kaum
muslimin dan memakmurkan negri-negrinya. Hal ini, supaya kaum muslimin
dan negeri-negerinya, sekurang – kurangnya tidak berada dibawah derajat
negeri lainnya. Juga supaya negeri-negeri Islam diurus oleh orang-orang
Islam sendiri dengan hokum dan peraturan yang terdapat didalam al-Qur’an
dan sunnah rasulullah.”
Dari tulisan di atas terlihat jelas
perbedaan antara mencintai tanah air sebagai tabi’at dasar manusia dan
ashobiyyah yang identik dengan nasionalisme sebagai pandangan hidup.
Ashobiyyah adalah bila seseorang menolong suatu kaum, tanpa melihat ia
dalam keadaan benar atau salah. Ashobiyah ini sering juga disebut oleh
beberapa kalangan dengan Solidaritas Sosial.[9]
Kekeliruan ketiga:
Sebagian orang sering mengatakan bahwa
Islam tidak melarang seseorang untuk menyatakan: “ Saya adalah seorang
Arab yang muslim atau seorang Pakistan yang Muslim”. Memang benar bahwa
Islam tidak melarang seseorang untuk menisbatkan diri kepada sesuatu,
seperti: nama sekolah, nama kabilah, suku, ataupun negara, karena itu
memang merupakan fitrah manusia . Tetapi perlu dicatat disini, bahwa
Islam mengharamkan seorang muslim menjadikan nama-nama tersebut sebagai
dasar pijakan di dalam memberikan loyalitasnya, artinya ia tidak boleh
mencintai orang-orang di kelompoknya walau dalam kebatilan dan memusuhi
seluruh yang di luar kelompoknya walau mereka dalam kebenaran.
Akan tetapi sifat inilah yang justru
lebih berdominan dan mewarnai kehidupan seorang muslim yang nasionalis.
Ibnu Tamiyyah telah menjelaskan hal ini di dalam Majmu’ Fatawa:
“Apabila mereka orang-orang yang
berkelompok berkumpul dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan
Rasul-Nya tanpa menambah dan menguranginya, maka mereka masuk katagori
orang-orang beriman mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana orang
beriman lainnya. Akan tetapi kalau mereka mengadakan hal-hal yang baru
yang tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya seperti fanatik kepada
setiap orang yang masuk kelompoknya walau dalam kebatilan, serta
berpaling dan membenci kepada semua orang di luar kelompoknya walau
dalam pihak yang benar. Maka hal ini merupakan perpecahan yang dicela
oleh Allah dan Rasul-Nya, karena Allah dan Rasul-Nya menyuruh untuk
berjama’ah dan bersatu, melarang perpecahan dan perselisihan, menyuruh
untuk saling membantu di dalam kebajikan dan ketakwaan serta melarang
kerjasama di dalam berbuat dosa dan permusuhan”.[10]
Hal senada dengan tulisan Said Hawa
dalam bukunya ”al Islam “, ia menyatakan bahwa memploklamasikan slogan
“kebangsaan” dan persatuan nasional, berjuang demi kemajuan bangsa sama
sekali tidak boleh dilakukan seorang muslim, selama ia menjadikan
kebangsaan itu titik tolaknya, karena hal itu merupakan salah satu
bentuk kesyirikan. Akan tetapi jika perjuangan berangkat dari keimanan
kepada Allah dan berniat untuk melakukan perintah-perintah-Nya dalam
memperbaiki bangsa maka amalan tersebut termasuk dalam katagori ibadah.[11]
Berbicara masalah ini, Dr. Muhammad
Imaroh lebih cenderung mengidentikkan loyalitas seorang muslim bak anak
tangga yang mempunyai tingkat dan jenjang masing-masing secara
berurutan, mulai dari anak tangga yang paling rendah, kemudian menginjak
pada anak tangga kedua kemudian berikutnya, sehingga sampai anak tangga
yang paling atas.[12]
Anak tangga yang paling bawah barangkali adalah loyalitas seseorang
kepada keluarga, kemudian anak tangga kedua adalah loyalitas kepada
kabilah atau etnis, anak tangga ketiga adalah loyalitas kepada sebuah
bangsa atau Negara dan seterusnya sehingga sampai anak tangga terakhir
yang merupakan akhir dari tujuan seorang muslim yaitu loyalitas terbesar
dan tertinggi yang diberikan kepada ajaran Islam yang merupakan
proyeksi dari petuah dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dari situ sudah jelas, bahwa seorang
muslim tidak diperbolehkan untuk mengorbankan ajaran Islam untuk
kepentingan keluarga, atau etnis atau kepentingan sebuah negara. Yang
terakhir ini lebih sering disebut seebagai faham Nasionalisme.
[1] Mubarakfuri, Rahiqul Mahtum, hal.225
[2] Muhammad Yaqhzan, Anatomi Budak Kuffar Dalam Perspektif Al-Qur’an, Al Ghiroh Press, Hal 71
[3] Majalah Tauhid, Dzulqo’dah 1416 H,Hal 35.
[4] Dr.Adnan Ali Ridho, Asy Syuro La Demokratiyah, Daar As Sohwah, 1405 H-1985 M, Hal 22
[5] Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, hal 1-12.
[6] Sa’id Hawa, al Islam , hal 349.
[7] Sa’id Hawa, al Islam , hal 349
[8] Ahmad Hasan, Islam Dan Kebangsaan.
[9] Abdul Rozak, “ Pandangan Ahmad Hasan” dalam majalah al-Muslimun, ( Edisi : 331, Oktober 1997 M,), hal: 72
[10] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, juz. 11, hal. 92
[11] Said Hawa, Al Islam, hal. 82
[12] Dr. Muhammad Imaroh, Hal Islam Huwal Hall Limadza Wa Kaifa, (Dar As syuruq, 1415-1995), hal. 163-165