Dunia ini akan rusak dan
manusia akan sengsara, kehidupan tak akan pernah aman dan sentosa selama
ajaran Islam tidak dijadikan way of live di dalam mengatur kehidupan
ini.
Nasionalisme sebagai ajaran baru,
ternyata telah membawa kerugian bagi umat manusia sendiri. Dan umat
Islamlah yang akan terkena akibatnya pertama kali.
Berikut ini sebagian dampak negatif dari
penyebaran paham Nasionalisme yang sempat terdata oleh penulis
(walaupun pada bab-bab sebelumnya dan sesudahnya sudah disebutkan):
Pertama : Menjadikan orang berpikiran kerdil, sempit pandangan, dan fanatik.
Hal itu dialami oleh orang-orang Jepang,
ketika menyetop masuknya pohon mangga dari India ke negaranya, hanya
karena pohon tumbuh di bumi bangsa lain.
Kedua : Mendidik generasi untuk terus berselisih dan berperang.
Kita bisa lihat contohnya di belahan Asia tengah, tepatnya di Afghanistan, yang tak pernah berhenti dari perang saudara.
Hal yang sama dialami oleh Pakistan,
negara tetangga Afghanistan, yang mulai tenang kembali selama beberapa
tahun ini, tetapi ketenangan itu digoncang kembali dengan tumbuhnya
pertentangan antara suku dan ras, nampaknya ada koalisi untuk membagi
wilayah Pakistan.[1]
Begitu dengan Yaman, walalupun pernah tenang beberapa saat, terakhir ini juga diguncang dengan perang saudara.
Rasanya terlalu banyak contohnya untuk
disebutkan disini. Tapi yang jelas musuh-musuh Islam berusaha untuk
selalu mengobarkan perpecahan, khususnya di negara-negara Islam.
Soedewo, salah satu tokoh kemerdekaan dan salah seorang aktifis JIB pada tahun (1925-1934), pernah menulis:
“Nasionalisme yang bersemboyan Right or
Wrong my Country itulah yang bertanggung jawab atas peperangan dan
pemerkosaan hak secara kasar, atas penjajahan dan exploitas bangsa yang
lemah. Yang tersebut terakhir ini dipaksakan ke dalam perbudakan,
diruntuhkan dan dipermalukan moralnya, demoralisasi.”[2]
Ketiga : Memutuskan hubungan spiritual antar bangsa.
Nasionalisme semacam ini akan memisahkan
umat Islam di Indonesia dengan umat Islam di Malaysia misalnya, ketika
terjadi insiden antara dua negara tersebut, yang terkenal dengan istilah
“Ganyang Malaysia” pada masa pemerintahan Soekarno.
Begitu juga yang terjadi antar Yaman dan
Arab Saudi atau antara Iraq dengan Iran atau antara Mesir dengan Sudan.
Sedangkan Islam mengajarkan persaudaraan universal sebagaimana yang
termaktub di dalam surat al-Hujurat ayat 10 dan surat Ali Imran ayat
103.
Keempat : Mematikan daya pengembangan
yang ada pada diri setiap orang, karena ia hanya menginginkan bangsanya
saja yang berkembang.
Kelima : Menyebarkan prinsip-prinsip
sesat, seperti: hak hanya dimiliki oleh yang kuat tak ada hak bagi
yang lemah, kekuatan dan kebenaran hanyalah bangsa saya.
Keenam : Mengorbankan kepentingan umum
demi tercapainya kepentingan bangsanya. Bangsa Aria, umpamanya terlalu
bangga ketika mengumandangkan slogan “Jerman diatas semua bangsa”.
Hitler, yang dikategorikan banyak orang
sebagai penjahat perang dunia II, mengakui sendiri pernyataan di atas.
Di dalam bukunya “Perjuanganku”, dia penah menyebutkan:
“ Manusia terbagi menjadi tiga bangsa :
bangsa yang menciptakan kebudayaan, bangsa yang menjaga kebudayaan dan
bangsa yang merubah kebudayaan. Hanya bangsa Aria sajalah yang termasuk
golongan pertama( bangsa yang menciptakan kebudayaan). “
Ketujuh : Membentuk sosok plin plan,
yang tidak mempunyai pendirian tetap, sikapnya akan berubah-ubah
mengikuti arus angin , dimana ada keuntungan bagi dirinya disitulah ia
berada.
Sifat seperti ini pernah dimiliki oleh
“Mushoilini”, salah satu tokoh nasionalis Itali. Dia adalah sosok
“sosialis” yang sebelum terjadi perang dunia pertama. Setelah melihat
kekalahan yang alami oleh Itali, dia berubah menjadi sosok “liberal
sosialis”, kemudian pada tahun 1920, ia memeluk faham “anarkisme”, yang
pada waktu itu ia mengritik habis-habisan faham demokrasi. Akan tetapi
pada tahun 1921, justru dia bergabung dengan orang-orang demokratis.[3]
Kedelapan : Mengakibatkan loyalitas seorang muslim kabur dan tak jelas.
Hal itu, karena kesatuan loyalitas dari
sebuah kelompok manusia jelas berdampak positif karena akan memperkuat
kesatuan mereka. Sebaliknya kaburnya atau terpecahnya loyalitas sebuah
kelompok akan mengantarkan kepada perpecahan dan kelemahan. Kesan
seperti nampaknya bisa dirasakan oleh siapa saja yang pernah berkumpul
atau berorganisasi.[4]
Kesembilan : Nasionalisme cenderung
bersikap acuh tak acuh terhadap agama. Pergerakan Nasionalisme hanya
mendasarkan gerakannya pada kepentingan bangsa saja. Sehingga, apabila
gerakan yang demikian mencapai kemerdekaan, hukum yang diterapkan adalah
hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.[5]
Ini yang terjadi di Negara Indonesia,
ketika kemerdekaan berhasil di raih oleh umat Islam lewat perjuangan
yang gigih, namun secara mendadak kubu nasionalis bisa menguasai
pemerintahan.
Ir. Soekarno sebagai wakil dari
nasionalis yang pada waktu menjabat sebagi presiden pertama RI, mampu
memaksa rumusannya tentang dasar Negara kepada kelompok Islam dan
mendesak umat Islam untuk menyetujui penghapusan tujuh kata dari UUD
1945, yang mewajibkan syariat kepada umat Islam dan pasal keenam yang
mengharuskan presiden beragama Islam.
Padahal menurut L.W.C Van Den Berg,
seorang ahli hukum belanda bahwa hukum Islam harus diterapkan pada umat
Islam, karena bagi mereka yang menganut agama berarti pula menerima
agama tersebut sepenuhnya. Teori ini akhirnya lebih dikenal oleh ahli
hukum dengan doktrin ”Reception In Complex”
Dan jauh sebelum kolonial Belanda, hukum
Islam telah diterapkan di Indonesia melalui “Tahkim”, yaitu
memercayakan urusan kepada kyai dan qodhi (hakim) yang di tunjuk oleh
kerajaan Islam.[6]
Muhammad Qutb menyebutkan tiga target
yang ingin dicapai Barat dan Salibisme dalam menanamkan faham
Nasionalisme ke dalam jiwa-jiwa kaum muslimin, di antaranya:
Satu : Memalingkan gerakan jihad Islami
yang menjadi momok bagi para penjajah Salibisme menjadi gerakan
perjuangan Nasionalisme, seperti apa yang dilakukan Sa’ad Zaghlul di
Mesir, dan Soekarno di Indonesia, serta Syarif Husein di Hijaz.
Dua : Memalingkan gerakan jihad Islami
menjadi gerakan politik yang mau menerima penyelesaian diplomasi,
seperti yang terjadi pada PLO di bawah pimpinan Yasser Arafat.
Tiga : Mempermudah operasi Westernisasi di sela-sela pemahaman Nasionalisme.[7]
[1] Koran al-Muslimun, edisi :650, 18 Juli 1997
[2] Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, LSIP, Maret 1995, hal. 15
[3] Abu A’la Al Maududi, al- Ummah al- Islamiyah Wa al-Qodhoya al-Qoumiyah, hal. 161-165
[4]
Dr.Zakariya Abdur Rozaq Al Misry, Al Wala’ lil Ifta’ Baina Al Haqaiq Wa
as- Syubhat, Muassatu ar-Risalah, 1412 H-1991 M, Hal 39.
[5] Ahmad Hasan, Islam Dan Kebangsaan.
[6]
M.Masrani Basran Dan Zaini Dachlan, Kodifikasi Hukum Islam Indonesia,
Dalam Sudirman Tebba(Edt), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia
Tenggara, Penerbit Miza.
[7] Muhammad Qutb, Madzahib Fikriyah Mu’asirah,hal:13)