“Kalaulah suatu penduduk Negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya kami akan membuka kan berkah buat mereka dari langit dan dari bumi…” (Al-A’raf 96)
67 tahun yang lalu
Indonesia memerdekakan diri pada hari Jum’at, hari paling mulia dalam
Islam, bertepatan pada bulan Ramadhan, bulan paling mulia dalam Islam.
Tak diragukan lagi, sangat jelas artinya bahwa kemerdekaan adalah
anugerah dari Allah SWT. Demikianlah, maka disebut dalam muqaddimah UUD
1945 bahwa atas berkat rahmat Allah telah sampailah Indonesia kepada
gerbang kemerdekaan.
Dua bulan kemudian setelah Agustus,
setiap tanggal 10 November rakyat Indonesia memperingatinya sebagai Hari
Pahlawan Nasional. 10 November sebuah tanggal yang monumental buah
perjuangan arek-arek Suroboyo di bawah pimpinan pejuang besar
kemerdekaan, Bung Tomo.
Namun naas, karena sejarah milik
penguasa. Nasib Bung Tomo tiada ubahnya bak pesakitan dan pengkhianat
bangsa. Ia di penjara oleh rezim yang berkuasa. Namun bagaimana pun
juga, akhir sejarah, Allahlah yang menentukan. Bung Karno terkena tulah
dari ucapannya yang terkenal "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawannya."
Ia terjungkal dari kekuasaan dengan cara yang mengenaskan dan jadi
pesakitan yang sebenarnya, karena ulahnya yang tidak mampu menghargai
jasa para pejuang. Hal yang sama terjadi kepada penggantinya, Soeharto.
Bung Tomo yang setiap pidatonya dalam
membakar semangat jihad rakyat Indonesia melawan penjajah kafir selalu
diawali dan diakhiri dengan Takbir, Jum'at 7 November 2008 akhirnya
ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional bersama Dr Mohammad
Natsir dan KH Abdul Halim. Ketiga Mujahid pejuang kemerdekaan ini
–seandainya masih hidup– mungkin akan bergumam "ah, malu aku. Hanya seperti inikah kemampuan pelanjutku dalam menghargai perjuangan yang berdarah-darah itu?" Bukan berarti mereka mengharapkan penghargaan. Terlintas di pikiran pun tentunya tidak.
Dr. Mohammad Natsir adalah seorang ulama
besar yang diakui dunia, dai, pendidik dan politisi ulung yang
mempersatukan negara-negara boneka buatan kolonial Belanda dengan mosi
yang terkenal, Mosi Integral Natsir, menjadi Negara Kesatuan republik
Indonesia (NKRI). Mosi yang disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang kedua setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Akhirnya Pak
Natsir, demikian biasa disapa, dipercaya menjadi Perdana Menteri pertama
Negara Kesatuan Republik Indonesia . Beliau juga pernah menjabat
sebagai Menteri Penerangan di tiga kabinet yang berbeda masa Soekarno.
Di mana menurut pengakuan Bung Hatta, Bung Karno tidak pernah mau
menandatangani surat-surat pemerintah jika tidak disusun dan dibaca dulu
oleh Pak Natsir.
Sedangkan KH Abdul Halim adalah ulama
karismatik asal Majalengka Jawa Barat. melahirkan banyak para pejuang kemerdekaan dengan
metode pendidikannya yang khas.
Lalu apa pentingnya gelar Pahlawan
Nasional bagi Bung Tomo, Pak Natsir dan KH Abdul Halim? Buat mereka
bertiga tentu sangat tidak penting. Karena mereka adalah pahlawan sejati, yang berjuang ikhlas hanya berharap pahala dari Allah SWT (pahala-wan).
Karena faktor keikhlasan itulah setelah kemerdekaan diraih; para kyai,
ulama dan santri itu kembali melanjutkan amal mereka di sawah, ladang,
pesantren dan lain-lain. Sementara pemerintahan akhirnya diisi oleh
mereka yang tidak ikut berjuang atau ikut berjuang tapi tidak cinta
Islam.
Para pejuang kemerdekaan berjuang atas
motivasi mempertahankan aqidah dan memperjuangkan agama Allah di bumi
ini. Maka ketika adanya penjajahan yang otomatis akan merusak akidah,
umat Islam bangkit melawan. Jelas benar bahwa pejuang kemerdekaan
seluruhnya adalah kaum muslimin tidak yang lain. Hanya umat Islamlah
yang memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Karena buat kaum muslimin
saat itu perjuangan kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Mereka sangat menyadari bahwa akan tetap hidup di sisi Allah sekalipun syahid di medan perang. Allah SWT berfirman,
“Laa tahsabanna ladziina qutiluu fii sabiilillahi amwaatan bal ahyaaun ‘inda Robbihim yurzaquun…”
(Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah
itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan diberi rezeki…)
Maka tidak lain dan tidak bukan,
Islamlah yang memerdekakan Negeri ini, karena seluruh pejuang
kemerdekaan beragama Islam. Menurut penelitian Guru Besar Ilmu Sejarah
UNPAD, Dr Ahmad Mansur Suryanegara, tokoh pejuang kemerdekaan asal
wilayah timur Nusantara, Thomas Mattulesy ternyata seorang muslim yang bernama Muhammad atau Ahmad Lesy.
Kenapa demikian, karena wilayah timur Indonesia dari dulu sampai saat
ini komposisi muslim dan non-muslim seimbang bahkan pada awalnya hanya
ada Islam. Tidak benar jika dikatakan bahwa wilayah timur mayoritas non
muslim. Bahkan Islamlah yang pertama kali menapakkan kaki di wilayah
tersebut.
Dalam buku Neiuw Guinea
karangan WC Klein tertulis fakta bahwa Islam masuk Papua pada 1569.
Barulah pada 5 Februari 1855, dua misionaris Kristen mendarat di Pulau
Mansinam, Manokwari, Papua. Ternyata menurut buku Penduduk Irian Barat
(hal 105) sebagian besar tentara dan orang Belanda yang ditempatkan di
Papua adalah rohaniawan Gereja (misionaris Katolik dan Zending
Protestan).
…Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah…
Hal ini semakin menambah bukti bahwa
Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah.
Sementara itu Kata ‘Maluku’ diambil dari bahasa Arab muluk
(Raja-Raja), wilayah Maluku saat ini dan Papua awalnya dikuasai dan
diperintah oleh para Raja Islam (Sultan) sebelum akhirnya datang
misionaris-misionaris Kristen yang mempertahankan adat dan tradisi
jahiliyyah di wilayah tersebut. Sehingga upacara-upacara kemusyrikan dan
pakaian yang tidak syar’i dipertahankan dengan dalih pelestarian
budaya. Tragisnya, ternyata hal itu dilanjutkan secara legal oleh
pemerintah kita hingga detik ini.
Padahal, menurut para dai yang bertugas
di sana, termasuk Ustadz Fadhlan Garamatan, seorang Da’i putra asli
daerah, warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka.
Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap mantap dalam
pembodohan struktural terhadap rakyatnya tersebut. Ustadz Fadhlan
menggambarkan betapa warga pedalaman Papua begitu senang bisa mandi
menggunakan sabun sebelum mereka disyahadatkan. Sebelumnya mereka mandi dengan melumuri badannya dengan minyak babi atas petunjuk para misionaris Kristen.
...Warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap pada pembodohan struktural terhadap rakyatnya...
Raja Sisinga Mangaraja juga adalah muslim yang taat.
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, tidak benar kalau raja Sisinga
Mangaraja adalah penganut agama leluhur tapi dia adalah seorang muslim
yang taat. Termasuk para pejuang Nasional yang kita kenal, mereka
semuanya muslim. Pangeran Diponegoro adalah Ustadznya Istana dan para
penasihatnya adalah para Kyai. Imam Bonjol, Cut Nyak Dien dan lain-lain
semuanya adalah para ulama dan santri.
Konsekuensinya umat-umat yang lain
khususnya umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan
kemerdekaan. Umat Kristiani tidak mungkin akan bangkit berjuang melawan
penjajah. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi sementara agama yang
dianutnya dengan agama para penjajahnya sama? Akankah mereka akan
membunuh saudara seimannya? Lebih-lebih kita tahu Kristen disebarkan
melalui penjajahan. Menurut keterangan Ahmad Mansur Suryanegara, “orang Kristen pada waktu itu, bukan lagi tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan mereka membantu kaum penjajah!”
(hal tersebut beliau sampaikan langsung kepada penulis, saat penulis
panel bersama beliau dalam Studium General Milad Pemuda Muhammadiyah
ke-99 di Subang 22 November 2008). Bagi yang mengerti sejarah hal ini
adalah fakta yang teramat jelas. Jadi sungguh mengherankan ketika mereka
menuntut lebih. Bahkan sedikitpun sebenarnya mereka tidak berhak,
ketika faktanya mereka tidak punya saham apapun dalam perjuangan
kemerdekaan.
...umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka tidak mungkin bangkit berjuang melawan penjajah dan membunuh saudara seimannya...
Katakan dulu di BPUPKI dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, tercantum nama Maramis dan Latuharhary
dua orang perwakilan umat Kristiani. Namun sungguh keberadaan dua orang
tersebut faktanya masih buram. Jika benar mereka ada (bukan fiktif),
apakah mereka tidak malu mengaku-ngaku tapi tidak ikut memperjuangkan
kemerdekaan, atau menurut beberapa sumber mereka sengaja mendompleng atau didomplengkan
oleh Soekarno agar terlihat bahwa umat Kristiani juga punya peran dalam
kemerdekaan Republik ini. Selain mereka juga termasuk yang
habis-habisan menolak Piagam Jakarta. Hingga saat ini, umat Kristiani
senantiasa menolak habis-habisan bila ada perundang-undangan yang
mengatur ibadah dan muamalah umat Islam. Aneh, padahal tidak ada sangkut
pautnya dengan mereka.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu, sehingga engkau mengikuti millah mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Begitu besarnya peran umat Islam dalam
perjuangan kemerdekaan, dalam bukunya ‘Menemukan Sejarah’ Ahmad Mansur
Suryanegara menuliskan beberapa data di antaranya:
1. Pengakuan George Mc Turner Kahin
seorang Indonesianis (Nationalism and revolution Indonesia) bahwa ada 3
faktor terpenting yang mempengaruhi terwujudnya integritas Nasional; 1)
Agama Islam dianut mayoritas rakyat Indonesia, 2) Agama Islam tidak
hanya mengajari berjamaah, tapi juga menanamkan gerakan anti penjajah,
3) Islam menjadikan bahasa Melayu sebagai senjata pembangkit kejiwaan
yang sangat ampuh dalam melahirkan aspirasi perjuangan Nasionalnya.
…Pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara...
2. Bahwa pelopor gerakan Nasional bukan
Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah
Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara, anggotanya beragam dan
terbuka. Sementara Budi Utomo; menolak persatuan Indonesia, memakai
bahasa Jawa dan Belanda dalam pergaulannya, bersikap ekslusif di luar
pergerakan Nasional dan keanggotaannya hanya untuk kalangan Priyayi
(Bangsawan/ningrat) saja.
3. Pelopor pembaharuan sistem pendidikan
Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman
Siswa (1922). Muhammadiyah sudah memakai bahasa Melayu sementara Taman
Siswa berbahasa Jawa dan Belanda. Hal paling mengerikan adalah pendiri
Taman Siswa Ki Hajar Dewantara ternyata sangat membenci Islam.
4. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
dipelopori oleh para pemuda Islam atas prakarsa para ulama dalam rapat
Nasional PSII di Kediri pada 27-30 September 1928. Dan masih banyak
lagi-lagi fakta-fakta lain yang belum terungkap.
Pada hakikatnya dan seharusnya negeri
ini adalah negeri Islam. Karena salah satu sumber hukum positif di
negeri ini adalah Syariat Islam. Dicantumkannya Piagam Jakarta dalam
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai menjiwai UUD 1945 oleh Soekarno menjadi dasar sahih
keharusan negeri ini diatur oleh syari’at Islam selain faktor historis
yang sudah dikemukakan di atas. Maka sebelumnya, saat ini dan seterusnya
seluruh produk perundang-undangan yang lahir harus mengandung
nilai-nilai syariat.
…Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922)…
Dengan dasar tersebut sungguh tidak
logis dan inkonstitusional jika ada sebagian kalangan yang menggugat
perda-perda bernuansa Syariah. Termasuk UU Pornografi yang juga
sebenarnya belum murni syariah. Tanpa malu-malu mereka mengancam akan
berpisah dari NKRI, seolah-olah NKRI membutuhkan mereka. Sesungguhnya,
mereka harus berpisah diri-diri mereka saja dari bumi Indonesia, karena
wilayah timur atau wilayah manapun di negeri ini adalah milik umat
Islam.
Negeri ini lahir atas buah karya keikhlasan para mujahid pejuang kemerdekaan atas Berkat Rahmat Allah SWT. Sebagaimana tercantum dengan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 “Atas Berkat Rahmat Allah SWT….”
Karena jika tidak atas Berkat Rahmat Allah SWT tidak mungkin bambu
runcing dapat menang melawan senjata-senjata modern penjajah kafir.
Para muarrikhin (sejarawan)
mengatakan “sejarah milik penguasa”. Perjuangan seorang Mohammad Natsir
dan kawan-kawan yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan
mempersatukan Indonesia dalam NKRI banyak tidak diketahui oleh para
pewarisnya (rakyat Indonesia), karena Natsir memperjuangkan Islam
sebagai dasar Negara sementara para penguasa tidak menginginkannya.
Sebagian besar dari kita atau anak-anak
kita di sekolah tidak mengenal sosok para mujahid tersebut. Dengan
dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional maka sudah menjadi keharusan
materi sejarah diluruskan di buku-buku sejarah anak-anak kita. Hal yang
sebenarnya paling ditakuti oleh penguasa. Di mana pemikiran dan
perjuangan sosok-sosok itu akan dibaca yang kemudian membangkitkan ruh jihad di dada-dada generasi Islam. Sehingga gelar pahlawan yang secara otomatis pengakuan konstitusional itu, senantiasa diulur-ulur.
Mereka khawatir jika setiap kali keluar dari kelas, para siswa akan memekikkan takbir Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar !!!
1 comments:
Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari sumbangsi para santri dan ulama yang senantiasa membangkitkan semangat para pemuda demi merebut kemerdekaan. http://transparan.id
Posting Komentar